JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia KS Maya mengatakan, peringatan Hari Anak Nasional 2020 seharusnya dapat diperingati oleh seluruh anak, tak terkecuali mereka yang tengah terlibat dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA).
Namun, menurut dia, meski kini sudah ada UU SPPA yang memiliki regulasi yang lebih baik dibandingkan dengan UU Pengadilan Anak, penerapan SPPA justru masih belum menjadi prioritas.
"Anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana (SPP) selama ini cenderung dijadikan kelas kedua, padahal buruknya situasi SPP di Indonesia seharusnya menjadi tanda waspada untuk lebih memperhatikan kondisi anak," kata Genoveva dalam keterangan tertulis, Kamis (23/7/2020).
Berdasarkan riset evaluasi implementasi UU SPPA selama 2018, terdapat beberapa hak anak yang telah dijamin UU namun belum terpenuhi dengan baik. Misalnya, hak untuk dapat dijauhkan dari penahanan dan pemenjaraan.
Riset menunjukkan, 93,75 persen anak tetap dikenakan penahanan. Tak hanya itu, bahkan ada temuan mereka ditahan melebihi batas waktu yang diizinkan di dalam UU SPPA.
"Sedangkan pemenjaraan setidaknya dikenakan pada 86 persen anak di tingkat pertama. Setidaknya, 80 persen Penuntut Umum dalam tuntutannya, menuntut anak dengan pidana penjara," kata dia.
Di sisi lain, ICJR juga mengapresiasi adanya tren penurunan pidana penjara setelah UU SPPA berlaku.
Saat ini jumlah anak yang ditahan di dalam rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan mencapai 1.397 orang per Juni 2020. Jumlah ini belum termasuk mereka yang dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
"Angka ini, masih cukup tinggi melihat jenis tindak pidana yang dilkukan oleh anak, beberapa adalah victimless crime atau anak juga adalah korban," ujarnya.
Genoveva menambahkan, aparat penegak hukum perlu memahami bahwa menempatkan anak di sel dapat memberikan kerentanan tersendiri bagi mereka.
Di sejumlah kota, meski ada perintah untuk membangun Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang terpisah dengan rutan maupun lapas orang dewasa, kenyataannya LPKA tetap dibangun menyatu.
Bahkan, di Jakarta, LPKA dibangun di lokasi yang sama dengan Lapas Salemba.
"Setiap harinya, anak beraktivitas bersama dengan orang dewasa atau setidaknya menyaksikan aktivitas orang dewasa di kawasan yang sama," ujarnya.
"Belum lagi, kondisi buruk pemenuhan hak dasar atas anak di dalam penjara, seperti kondisi penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan," imbuh dia.
Genoveva menuturkan, berdasarkan riset situasi rutan dan lapas di DKI Jakarta pada 2019, ditemukan bahwa kondisi pemenuhan air minum di LPKA tidak sesuai standar.
Belum lagi, imbuh dia, dalam hal pemenuhan hak fair trial anak. Dalam riset ditemukan bahwa pendampingan kuasa hukum di tingkat penyidikan masih rendah yaitu hanya 3,9 persen.
Sementara itu, pendampingan tertinggi terdapat pada proses persidangan yakni 94,1 persen. Hal itu pun tidak sesuai dengan ketentuan di dalam UU SPPA yang mengamanatkan agar anak yang terlibat dalam SPPA mendapat pendampingan hukum di setiap tingkat pemeriksaan.
"Terhadap hak untuk mendapat pendampingan selain dari penasihat hukum pun, situasinya juga kurang baik," ujarnya.
Ia pun berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum dapat memberikan perhatian besar dan menjadikan SPPA sebagai sebuah prioritas.
Evaluasi terhadap implementasi UU SPPA harus segera dilakukan secara menyeluruh, agar perbaikan dapat segera direalisasikan guna melengkapi hal-hal yang belum ada.
"Aparat penegak hukum juga harus memprioritaskan kepentingan terbaik untuk anak, termasuk pemenuhan hak-hak yang sudah diatur dalam undang-undang, terlepas dari tuduhan yang dikenakan padanya, dan tentu saja selalu mengingat posisinya sebagai anak," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/23/14172231/hari-anak-nasional-2020-icjr-sebut-sistem-peradilan-anak-masih-belum-jadi