Sebab, RUU Cipta Kerja memuat pasal yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk membatalkan peraturan daerah (perda) dan peraturan lainnya yang tidak sejalan dengan RUU tersebut.
Akibatnya, presiden tidak hanya menjadi lembaga eksekutif, tetapi juga memiliki kewenangan legislatif dan yudikatif.
"Pengaturan mengenai pemberian kewenangan yang berlebihan dan terpusat kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden, menunjukkan bahwa presiden dalam RUU Cipta Kerja ini bukan saja memiliki kewenangan eksekutif, melainkan juga memiliki kewenangan legislatif sekaligus yudikatif," kata Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas, melalui keterangan tertulis pandangan dan sikap resmi MUI yang diterima Kompas.com, Rabu (8/7/2020).
Anwar mengatakan, pemusatan kewenangan pemerintah pusat dalam RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014.
Kewenangan presiden itu dinilai akan berakibat pada ketidakharmonisan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
"Serta juga akan melemahkan atau mendistorsi kedudukan pemerintahan daerah sebagai daerah otonom sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945 dan Pasal 5, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU Nomor 23 Tahun 2014," ujar Anwar.
Atas persoalan tersebut, MUI mengingatkan DPR dan pemerintah dalam membahas RUU Cipta Kerja memperhatikan nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis yang tercermin dalam Pancasila, UUD 1945, dan nilai hidup masyarakat.
MUI juga meminta supaya RUU Cipta Kerja tidak menyimpang dari tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya polemik terkait RUU ini, DPR dan pemerintah didesak mencermati dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh berbagai pendapat, pemikiran dan tanggapan masyarakat mengenai RUU Cipta Kerja ini.
Sebab, selain muncul dukungan, juga timbul kritik, keberatan, bahkan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, baik pada materi/pasal/klaster tertentu maupun keseluruhan RUU.
"Dalam membahas RUU Cipta Kerja supaya pemerintah dan DPR senantiasa berpedoman kepada Pancasila dan UUD 1945 dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh berbagai aspirasi dan masukan dari berbagai komponen bangsa," kata Anwar.
Diberitakan, RUU Cipta Kerja memberikan kewenangan presiden mencabut peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui peraturan presiden (perpres).
Hal itu termaktub pada Pasal 166 di RUU Cipta Kerja, yang menggantikan Pasal 251 dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Saat ini, perda hanya bisa dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya, pemerintah sempat membuat regulasi yang mengatur bahwa menteri dalam negeri berwenang menghapus perda yang dipandang bertentangan dengan undang-undang.
Namun, peraturan tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga mekanisme pencabutan perda kembali harus melalui uji materi di MA.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/08/18003891/sekjen-mui-nilai-ruu-cipta-kerja-beri-kewenangan-berlebih-ke-presiden