Siti menyatakan, RUU tidak boleh hanya demi mengakomodasi kepentingan jangka pendek untuk 2024.
"Bila revisi UU Pemilu tidak menghadirkan kebaruan yang bermanfaat, seluruh visi tidak akan mengubah apapun kecuali hanya memayungi kepentingan sesaat 2024, bisa dipastikan prospek demokrasi Indonesia akan rumit," kata Siti dalam rapat bersama Komisi II DPR, Selasa (30/6/2020).
Ia meminta DPR, salah satunya, memperhatikan dampak ambang batas parlemen terhadap kelembagaan serta keikutsertaan partai dalam pemilu nantinya jika ada revisi dalam UU tersebut.
"Tolong dipertimbangkan apakah 4 persen, atau 5 persen, atau 7 persen, apa kira-kira dampaknya terhadap kelembagaan partai, terhadap keikutsertaan partai dalam pemilu dan setelahnya," katanya.
Setelahnya, DPR bisa membuat simulasi penetapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Ambang batas presiden saat ini yaitu sebesar 20 persen.
Dia berharap segala keputusan yang diatur dalam RUU Pemilu dipikirkan manfaatnya bagi kepentingan masyarakat.
"Saya mengusulkan coba dibuat simulasi dengan cukup saksama oleh Komisi II, apakah dengan menetapkan seperti yang sudah berlaku di Pemilu 2019 bisa dilaksanakan dan ada kemanfaatannya, atau mungkin setengahnya saja," ucapnya.
"Kalau setengahnya saja, apakah memungkinkan ada kompetisi dan kontestasi atau supaya muncul calon-calon lain," lanjut Siti.
Kemudian, ia juga membahas soal pemilu dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup.
Siti menegaskan segala pilihan yang ditetapkan DPR dan pemerintah nantinya akan memiliki konsekuensi.
Siti menegaskan penguatan sistem partai politik mesti menjadi tujuan utama dalam hal ini.
"Mau tertutup juga ada konsekuensi logis, ada dampak positif dan negatifnya, demikian pula terbuka atau semi terbuka atau tertutup. Jadi bagaimana ke depan apakah kita akan melaksanakan kembali tertutup atau setengah terbuka dan apa sebetulnya manfaatnya," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/18451491/peneliti-lipi-ingatkan-dpr-revisi-uu-pemilu-jangan-untuk-kepentingan-2024