"Mengenai Netflix 100 persen gratis dan bertujuan dalam kebinekaan global terutama untuk planet kita dan pengetahuan global sains. Dan itu secara fundamental suatu knowledge global," kata Nadiem dalam raker dengan Komisi X secara virtual, Senin (22/6/2020).
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengakui, hak siaran film Netflix untuk ditayangkan di televisi, nilainya bisa mencapai jutaan dolar.
Tapi, tak sepeser pun dikeluarkan untuk membeli tayangan tersebut.
"Kemendikbud tidak menggunakan APBN satu sen pun untuk membeli hak atau katakanlah menyewa dari Netflix," kata Hilmar.
"Ada mispersepsi juga di luar sana mengatakan bahwa sebaiknya anggaran digunakan untuk produksi lokal," sambungnya.
Lebih lanjut, Hilmar mengatakan, film-film dokumenter Netflix yang ditayangkan di TVRI fokus pada planet bumi dan sains dokumenter.
Menurut dia, beberapa film dokumenter Netflix juga melibatkan pekerja seni dalam negeri.
Selain itu, Hilmar mengatakan, penayangan film-film dokumenter itu sudah melalui pemeriksaan konten atau sortir yang melibatkan lembaga sensor film.
"Dan kemendikbud sendiri ini melalui satu proses pengkajian kami sangat hati-hati apa yang boleh dan tidak, saya kira perhatinan publik sangat kami pahami dan kami kawal," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Kemendikbud akan menayangkan film-film dokumenter Netflix di TVRI mulai Sabtu, 20 Juni 2020.
Film-film dokumenter Netflix akan tayang perdana setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayang ulang setiap Minggu dan Rabu pada pukul 09.00 WIB.
Tayangan-tayangan ini akan disiarkan secara terestrial melalui TVRI.
Ketua Komisi X Syaiful Huda mengajukan kritik atas langkah tersebut.
Huda menilai, film dokumenter Netflix yang akan ditayangkan di TVRI tersebut mengurangi ruang kreativitas bagi anak bangsa.
"Kami merasa banyak anak bangsa yang lebih kreatif untuk membuat film dokumenter, film pendek, hingga panduan belajar bagi peserta didik selama masa Belajar Dari Rumah," kata Huda dalam keterangan tertulis, Kamis (18/6/2020).
"Ini kenapa Kemendikbud sebagai rumah besar pendidikan, malah mengandeng penyedia layanan streaming dari luar negeri untuk sekedar menyediakan film dokumenter," tuturnya.
Huda memahami, selama proses belajar dari rumah, siswa membutuhkan hiburan-hiburan berkualitas yang memuat unsur pendidikan.
Kendati demikian, kata dia, seharusnya kebutuhan film-film dokumenter itu diberikan kepada rumah produksi lokal untuk memenuhinya.
"Tapi apa harus mengandeng layanan video streaming yang masih belum jelas kontribusi bagi pendapatan negara," kata Huda.
"Kita masih punya Pusat Film Nasional (PFN), kita masih punya banyak mahasiswa dari Desain Komunikasi Visual. Kenapa tidak diberikan kesempatan bagi mereka," ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/22/13570281/kemendikbud-tegaskan-film-dokumenter-netflix-di-tvri-tak-gunakan-apbn