Salin Artikel

Populisme Politik dan Gelombang Rasialisme di Tengah Pandemi Covid-19

GELOMBANG pandemi Covid-19 mengentak manusia di pelbagai negara. Dunia seakan melambat, mengharuskan perubahan ritme kehidupan manusia. Virus Corona mengajak kita semua untuk jeda, berhenti sejenak dari pusaran aktivitas dan pekerjaan mengejar materi yang tak pernah surut.

Efek mengerikan dari Covid-19 sudah kita lihat, seiring dengan informasi yang melimpah di genggaman. Bahkan, kejutan terus bertambah dengan berita duka dari teman-teman kita. Dari laman media sosial, saya mendapati hampir setiap hari ada kabar duka, mereka yang meninggal karena serangan Covid-19. Air mata mengalir di tiap detik kabar kematian.

Meski telah banyak ahli dan saintis yang mewanti-wanti bahaya virus corona, serta bagaimana seharusnya bersikap, para pemimpin politik yang beraliran populis tampak cenderung meremehkan, menganggap enteng, seraya mengingkari saran ahli dari periset ilmu pengetahuan.

Ungkapan-ungkapan bahwa Covid-19 sebagai flu biasa, hanya konspirasi, dan sebagainya, berseliweran dari pernyataan publik para pejabat yang cenderul bersikap menolak fakta pengetahuan. Kondisi ini terjadi di Amerika Serikat, Brasil, dan juga Indonesia.

Presiden Donald Trump beberapa kali menyatakan ke publik bahwa virus corona itu justru memberi dampak positif bagi ekonomi Amerika Serikat. Menurut Trump, virus corona punya kemungkinan memberikan akhir yang bagus (have a very good ending for us) dan mendorong lapangan kerja (boost job) di Amerika Serikat.

Dalam sebuah agenda di South Carolina, Donald Trump menegaskan bahwa virus corona masih dalam kontrol otoritas Amerika Serikat. Ia juga menganggap kubu politisi Partai Demokrat sengaja menyebar hoaks terkait Covid-19 semata demi menjatuhkan popularitasnya sekaligus membuka peluang pertarungan politik dalam kontestasi calon presiden.

Trump memainkan politic of blaming terhadap lawan-lawan politiknya, khususnya dari kubu Partai Demokrat Amerika.

Tak hanya itu, Donald Trump juga memainkan sentimen kebencian dengan mendakwa pemerintah China sebagai biang keladi persebaran virus Corona. Trump menuduh Pemerintah China sengaja menyebar virus ke seluruh dunia.

Menjawab tudingan Trump, diplomat China balik menuduh militer Amerika Serikat harus bertanggung jawab terhadap Covid-19, karena membawa virus dari sebuah laboratorium di Amerika ke kota Wuhan di China.

Tensi politik menegang, hanya berselang beberapa bulan dari meredanya perang dagang Amerika Serikat dan China.

Namun, situasi berubah ketika eskalasi persebaran virus Corona di Amerika Serikat meningkat drastis. Covid-19 menghantam Amerika Serikat, menjadikan negeri itu juga kelimpungan menangani banyaknya pasien Covid-19, sementara tenaga medis dan fasilitas kesehatan terbatas.

Belakangan, Trump meralat pernyataannya. Dia berbalik merangkul dan mengajak kerja sama China untuk membereskan tantangan Covid-19.

Kasus Covid-19 belum reda, Amerika Serikat diamuk gelombang kemarahan dan demonstrasi menyusul kematian George Flyoid, seorang warga kulit hitam Amerika, di tangan oknum polisi.

Kematian Floyd menjadi tragedi berulang, karena dua bulan sebelumnya seorang warga kulit gelap bernama Breonna Taylor juga meninggal akibat tindakan kekerasan serupa.

Jutaan orang turun ke jalan di beberapa kota di Amerika Serikat, mengutuk tindakan oknum polisi serta kebijakan rasial. Demonstrasi mengenang Floyd dan mengecam rasialisme meluas hingga ke beberapa negara Eropa.

Situasi yang menegangkan juga terjadi di Brasil, di bawah kepemimpinan Jair Bolsonaro. Pemimpin politik Brasil itu menganggap Covid-19 sebagai flu biasa, bisa dilawan dengan mudah, serta bersikap menolak fakta.

Bolsonaro mengingkari saran dari tim ahli dan saintis yang selama ini meriset perkembangan virus. Ironisnya, Bolsonaro juga menganggap krisis virus corona sebagai akibat dari trik media.

Bahkan, dalam sebuah wawancara di televisi Brasil pada 22 Maret 2020, Bolsonaro juga mengecam Wali Kota Rio de Janiero dan Sao Paulo yang mendorong warga untuk berdiam di rumah, mengisolasi diri, dan menjaga jarak dengan kerumunan.

Arus populisme politik

Virus corona menjadi tantangan besar yang menerobos batas negara. Negara-negara modern dan kaya tertatih-tatih menahan serangan persebaran virus.

Thomas Wright dan Kurt Campbell bahkan menyebut Covid-19 sebagai tantangan terbesar ketiga negara-negara setelah Perang Dingin.

Dampak Covid-19 bagi tatanan kehidupan dan interaksi negara-negara disebut tidak kalah mengerikan dibanding dengan peristiwa 11 September 2001 dan krisis 2008 (the Atlantic, Maret 2020).

Wright dan Campbell beranggapan, di tengah krisis Covid-19 para politisi yang selama ini menggunakan isu populisme sebagai kendaraan politik justru memainkan peran yang lebih merusak dengan aneka manuver.

Tatanan dunia sekarang ini, selepas satu dekade terakhir, lebih cenderung diwarnai bertumbuhnya otoriterisme, nasionalistik, xenophobic, unilateral, anti-kemapanan, dan anti-ekspertise.

Manuver populisme sejumlah pemimpin negara di berbagai belahan dunia menampilkan sikap mereka yang memainkan isu krisis sebagai tunggangan politik.

Mereka saling melempar hoaks dengan tudingan informasi. Batas antara hoaks dan pelintiran menjadi tersamar bahkan tidak jelas. Selain itu, para politisi populis cenderung mengesampingkan pendapat ahli dalam rujukan kebijakan publik mereka.

Di sisi lain, dalam skala yang lebih luas, para pakar dari berbagai bidang keahlian juga tampak hanya dijadikan batu tumpuan untuk legitimasi aspirasi politik dan hasrat kekuasaan.

Para ahli, periset, serta profesor dengan catatan publikasi ilmiah, ditempatkan sebagai stempel untuk memainkan ritme politik. Para ahli dan saintis sekadar dijadikan catatan kaki, ketika kebijakan dikhususkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Bagaimana di Indonesia?

Tantangan besar juga mengadang bangsa Indonesia dari persebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia terlihat agak kebingungan menghadapi efek berkelanjutan dari virus corona.

Bahkan, pernyataan publik dari masing-masing pejabat negara saling bertolak belakang.

Di samping itu, keterbukaan informasi dan data tentang Covid-19 masih dipertanyakan. Data dari pemerintah pusat, misalnya, tidak sinkron dengan data yang dipublikasi pemerintah daerah.

Belum lagi, minimnya tes (rapid test apalagi swab test) yang diselenggarakan pemerintah dengan berbagai kesulitan, menjadikan Indonesia termasuk negara dengan skala rendah dalam rangking persentase negara-negara dunia untuk tes virus corona.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang menyetujui paket anggaran Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19. Namun, seiring dengan restrukturisasi anggaran, pemerintah juga memotong anggaran Kementerian Riset dan Teknologi sebanyak Rp 40 miliar.

Beberapa pos anggaran lain juga menuai kritik dari publik, karena dianggap tidak tepat sasaran dan bias kepentingan elite.

Padahal, dalam situasi krisis karena hantaman pandemi Covid-19, dibutuhkan prioritas kebijakan dan anggaran riset untuk mendukung penelitian-penelitian.

Para periset harus mendapat prioritas dukungan untuk melahirkan hasil riset di bidang kesehatan, teknologi informasi, dan pengetahuan terkait, untuk antisipasi serangan virus di masa mendatang.

Covid-19 terbukti menjadi tantangan besar manusia masa kini. Dan, manuver-manuver populisme politik menjadikan situasi lebih menyakitkan. Jangan sampai karenanya rasialisme dan virus kebencian pun merembet ke Indonesia. 

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/08/11490271/populisme-politik-dan-gelombang-rasialisme-di-tengah-pandemi-covid-19

Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke