Desakan itu muncul agar Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia mendapat kepastian instrumen hukum dan terhindar dari perbudakan modern di atas kapal ikan.
"Konvensi ILO 188 itu menjadi kunci yang kemudian mengatur beberapa aspek perlindungan ABK khusus perkinan di atas kapal," Ketua SBMI Hariyanto Suwarno kepada Kompas.com, Rabu (27/5/2020).
Hariyanto mengatakan ILO 188 merupakan satu instrumen hukum internasional dari perburuhan.
ILO 188 juga mengatur ketentuan mengenai jenis kapal, wilayah tangkap, kewenangan ABK, hingga kriteria pelarungan.
Dia menegaskan, berdasarkan ILO 188, jika ABK meninggal di atas kapal, tidak serta-merta langsung dilarung begitu saja.
"Bahwa tidak serta-merta meninggal di atas kapal itu dilarung, enggak," ungkap dia.
Di sisi lain, Hariyanto menyebut pemerintah memiliki keenganan meratifikasi ILO 188 dan lebih memilih meratifikasi Konvensi Pekerja Maritim (MLC) tahun 2006 melalui UU Nomor 15 tahun 2016 yang telah disahkan Presiden Jokowi pada 6 Oktober 2016 lalu.
Menurutnya, dalam MLC menutup adanya celah perlindungan hukum bagi ABK kapal ikan.
"Artinya teman-teman ABK di kapal ikan tidak dilindungi, ini menambah analisis saya terjadi pembiaran," katanya.
Untuk itu, pihaknya pun mendesak pemerintah segera meratifikasi ILO 188 demi adanya kepastian hukum yang didapatkan ABK Indonesia.
Kasus pelarungan jenazah ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing dinilai sebagai salah satu praktik perbudakan yang seharusnya tak terjadi.
Polri bahkan memproses kasus tersebut sebagai tindak lanjut dari adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Sejauh ini, Polri telah menetapkan lima tersangka dalam dua kasus dugaan TPPO ABK WNI di kapal asing.
Pertama, tiga tersangka dalam kasus dugaan ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629.
Ketiga tersangka tersebut adalah seorang berinisial WG dari PT APJ, JK dari PT SMG, dan KMF dari PT LPB.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancaman hukumannya minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
Kedua, dua tersangka dalam kasus tewasnya ABK Indonesia yang jenazahnya dilarung ke perairan Somalia.
Dua orang itu adalah S (45) Komisaris PT Mandiri Tunggal Bahari dan MH (54) Direktur PT Mandiri Tunggal Bahari.
Perusahaan tersebut merupakan agen pemberangkatan ABK untuk bekerja di kapal asing Lu Qing Yuan Yu 623 dan kapal Fu Yuan Yu 1218.
Kedua tersangka dijerat pasal 85 dan 86 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Mereka juga terancam dijerat pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/28/05311541/marak-praktik-perbudakan-abk-wni-pemerintah-didesak-ratifikasi-ilo-188