JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly digugat ke Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, terkait kebijakan asimilasi terhadap 30.000 narapidana di tengah pandemi Covid-19, pada Kamis (23/4/2020).
Yasonna digugat oleh tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) sekaligus, yakni Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Ketidak-adilan Independen (MAKI), serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H).
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan gugatan tersebut berangkat dari dampak kebijakan pembebasan 30.000 napi yang justru membuat warga resah.
"Di mana para napi yang telah dilepas sebagian melakukan kejahatan lagi dan menimbulkan keresahan pada saat pandemi corona," ujar Boyamin dalam keterangan tertulis, Minggu (26/4/2020).
Adapun tergugat adalah Kepala Rutan Surakarta, Kakanwil Kemenkumham Jawa Tengah, dan Menkumham Yasonna Laoly.
Boyamin menyatakan napi yang kembali berulah telah membuat warga di Surakarta waspada.
Menurutnya, warga Surakarta terpaksa mengantisipasi ulah napi asimilasi dengan cara ronda.
Bahkan tak sedikit di antara mereka harus mengeluarkan biaya untuk membuat portal di jalan masuk gang perkampungan.
"Untuk mengembalikan rasa aman maka kami menggugat Menkumham untuk menarik kembali napi asimilasi dan dilakukan seleksi dan psikotest secara ketat jika hendak melakukan kebijakan asimilasi lagi," jelas dia.
Boyamin mengatakan, gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Surakarta dikarenakan dirinya pada saat itu tengah bekerja dari rumah (work from home) di Surakarta.
Sehingga gugatan tersebut fokus pada kasus yang terjadi di Surakarta.
"Toh kalau nanti dikabulkan hakim, maka otomatis akan berlaku di seluruh Indonesia," katanya.
Alasan gugatan
Boyamin menuturkan, gugatan terhadap Yasonna diajukan karena kebijakan asimilasi 30.000 narapidana hanya menggunakan syarat sederhana.
"Materi gugatan adalah para tergugat hanya menerapkan syarat secara sederhana," ujar Boyamin.
Boyamin menjelaskan, napi asimilasi sebelum resmi dilepas harus memenuhi sejumlah syarat.
Antara lain berkelakuan baik berdasarkan tidak ada catatan pernah melanggar selama di dalam lapas.
Kemudian membuat surat pernyataan tidak akan melakukan kejahatan lagi.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, Yasonna bersama dua tergugat lainnya, Kepala Rutan Surakarta dan Kakanwil Kemenkumham Jawa Tengah tak meneliti secara mendalam watak napi.
Adapun skema penelitian itu dapat dilakukan dengan cara psikotes terhadap setiap napi.
Tanpa adanya skema tersebut, lanjut dia, maka hasilnya napi kembali berulah lagi.
"Jadi yang dipersalahkan adalah teledor, tidak hati-hati dan melanggar prinsip pembinaan pada saat memutuskan napi mendapat asimilasi," katanya.
Selain itu, menurut Boyamin, para tergugat juga tidak melakukan pengawasan karena mereka yang mendapat asimilasi masih menyandang status napi.
Sehingga, pembinaan dan pengawasan masih tetap menjadi tanggung jawab para tergugat.
"Dengan tidak melakukan pengawasan dan pembinaan oleh para tergugat adalah perbuatan melawan hukum," tegas dia.
Dasar gugatan
Boyamin menuturkan terdapat sejumlah dasar gugatan dalam kebijakan asimilasi 30.000 narapidana di tengah pandemi Covid-19.
Pertama, terkait Kepala Rutan Solo sebagai tergugat 1.
"Kepala Rutan Solo melepaskan napi diduga tidak memenuhi syarat dan tidak melakukan pengawasan, sehingga napi tersebut melakukan kejahatan di masyarakat," ujar Boyamin.
Kemudian dasar gugatan kedua terkait Kakanwil Kemenkumham Jawa Tengah sebagai tergugat 2 karena telah mengizinkan Kepala Rutan Solo melepaskan napi.
Kemudian Yasonna Laoly sebagai tergugat 3 telah memerintahkan dan mengizinkan Kakanwil Jawa Tengah untuk melepaskan napi dari Rutan Solo.
"(Yasonna) mengizinkan dan memerintahkan mengeluarkan napi dan tidak melakukan pengawasan yang kemudian napi tersebut melakukan kejahatan di Solo," kata Boyamin.
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/27/05464851/kebijakan-yasonna-laoly-bebaskan-30000-napi-berbuntut-gugatan