Salin Artikel

Pandemi Corona dan Lockdown dalam Diskursus Hukum

PENYEBARAN virus corona di Indonesia, baik skala maupun jumlah orang terinfeksi, telah membuat pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat Indonesia terus waspada dan siaga.

Kewaspadaan dan kesiapsiagakan menjadi hal penting agar pencegahan dan penanggulangan pandemi virus corona di Indonesia dapat dilakukan sebaik-baiknya.

Presiden Joko Widodo pun telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease (COVID-19) yang menunjuk Kepala BNPB sebagai Koordinator Satgas.

Bahkan, melalui Surat Keputusan Nomor 9A Tahun 2020, Kepala BNPB menetapkan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus corona di Indonesia sampai dengan 29 Mei 2020.

Hingga saat ini, skala penyebaran dan jumlah orang terinfeksi pun kian meningkat dari waktu ke waktu.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah guna membuat Indonesia bersih dari virus corona.

Salah satunya adalah gerakan "Bekerja, Belajar, dan Beribadah dari Rumah". Ada pula tindakan karantina dengan berbagai fasilitas, isolisasi dengan berbagai fasilitas, dan social distancing.

Namun, tidak cukup dengan gerakan itu, gagasan adanya lockdown juga mengemuka.

Pemerintah didesak untuk menerapkan lockdown beberapa wilayah di Indonesia sebagaimana dilakukan oleh China, Italia, Spanyol, Perancis, bahkan Malaysia dan Filipina.

Bagaimana sebenarnya infrastruktur hukum menjawab persoalan pandemi virus corona melalui kebijakan lockdown di Indonesia?

Tulisan ini akan mengulasnya dengan pendekatan substansi dan struktur hukum.

Regulasi lockdown

Alenia keempat UUD 1945 menyatakan bahwa "Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada..."

Ini merupakan alenia sakti yang menjadi tujuan pembentukan negara Republik Indonesia.

Perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ini merupakan hukum tertinggi bagi negara ini.

Itulah mengapa tujuan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah tertuang dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi. Salus populi suprema lex atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Perwujudkan upaya penyelamatan segenap bangsa dan seluruh tumpah daerah Indonesia terorganisasikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Spirit ini bersemayam pula dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Semua itu merupakan UU terkait dalam upaya negara yang termanifestasi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang dibantu para menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah daerah Indonesia dari ancaman pandemi virus corona yang sangat ganas.

Dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan kebencanaan, istilah lockdown tidak dikenal.

Lalu, apa itu lockdown? Menurut The Economic Times, "A lockdown is an emergency protocol that prevents people from leaving a given area. A full lockdown will mean you must stay where you are and not exit or enter a building or the given area."

Istilah lockdown atau protokol darurat yang mencegah orang meninggalkan wilayah tertentu sehingga seseorang harus tetap di tempat dirinya berada dan tidak keluar atau memasuki wilayah lain.

Tidak ditemukan padanan yang sama persis dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tentang istilah di atas.

Namun demikian, berbagai regulasi dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia dapat dirujuk untuk mengenal karakter lockdown.

Pertama, terdapat pengaturan mengenai kekarantinaan kesehatan. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan, kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal ke luar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kekarantinaan kesehatan ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat di pintu masuk dan di wilayah secara terpadu.

Pintu masuk ini merujuk pada tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.

Pemerintah pusat dapat menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM) apabila terdapat kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa.

Kejadian luar biasa ini ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Dalam penetapan KKM, harus ada indikator awal berupa adanya kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa. UU Kesehatan menyebut indikator ini dengan istilah kejadian luar biasa (KLB).

Dalam Pasal 156 UU Kesehatan diatur bahwa dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular, pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau KLB.

Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau KLB harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui keakuratannya.

Pandemi global virus corona masuk ke dalam kategori kejadian kesehatan luar biasa. Sejumlah pemerintah daerah telah menetapkan wilayahnya dengan status KLB, antara lain Kota Bogor dan Solo.

Kedua, status KLB dalam UU Kesehatan terkoneksi dengan penetapan status KKM sebagaimana yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Tahapan penetapan KKM dimulai dengan penetapan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan KKM oleh pemerintah pusat.

Dengan status KKM ini, pemerintah pusat dapat menetapkan dan mencabut penetapan pintu masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit.

Selanjutnya, pemerintah pusat menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan KKM.

Dalam kondisi KKM, penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus dilakukan secara hati-hati.

Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan pada KKM harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Apabila lambat dan tidak tetap, bencana nonalam ini akan semakin dasyat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini tegas diatur dalam Pasal 49 UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan, dalam Pasal 155 ayat (5) UU Kesehatan dinyatakan, pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.

Dalam kondisi KKM, pemerintah melakukan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah.

Hal itu dilaksanakan melalui kegiatan pengamatan penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan, serta respons terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat dalam bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan.

Tindakan kekarantinaan kesehatan tersebut dilakukan melalui cara-cara berikut ini.

  1. karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi;
  2. pembatasan sosial berskala besar;
  3. disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang; dan/atau penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.

Selain tidndakan tersebut, dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi KKM sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Kekarantinaan Kesehatan, dilakukanlah tindakan karantina.

Karantina itu berupa karantina rumah, "karantina wilayah", karantina rumah sakit, atau pembatasan sosial berskala besar oleh pejabat karantina kesehatan.

Tindakan tersebut harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.

Karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar ditetapkan oleh menteri kesehatan (Pasal 49 ayat 2 dan ayat 3 UU Kekarantinaan Kesehatan).

Lockdown dapat merujuk pada karakteristik tindakan karantina wilayah yang merupakan bagian respons dari KKM.

Karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antaranggota masyarakat di wilayah tersebut (Pasal 53 UU Kekarantinaan Kesehatan).

Adapun prosedur kerjanya sebagaimana diatur dalam UU Kekerantinaan Kesehatan, yaitu pertama, pejabat karantina kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan karantina wilayah.

Kedua, wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan Polri yang berada di luar wilayah karantina.

Ketiga, anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.

Keempat, bila selama masa karantina wilayah ternyata ada salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut yang menderita penyakit KKM yang sedang terjadi, maka dilakukan tindakan isolasi dan segera dirujuk ke rumah sakit.

Tindakan karantina wilayah ini, menurut penulis, dapat pula disebut sebagai lockdown.

Lockdown memang harus dilakukan secara cepat, namun lebih penting dilakukan secara tepat. Cara ini memang dianggap mampu memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Namun, lockdown harus memperhitungkan dukungan sumber daya dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Secara prinsip, pemerintah pusat dan daerah telah melakukan "lockdown secara terbatas" sebagai ikhtiar memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Hal itu antara lain berupa penetapan proses pembelajaran di rumah bagi siswa dan mahasiswa dan mengimbau working from home di berbagai instansi pemerintahan.

Upaya lain yang sejalan dengan itu adalah pemberian inisiatif perusahaan swasta, adanya imbauan social distancing, termasuk keputusan beberapa pemerintah daerah yang melarang ritual agama dan menutup sejumlah pusat-pusat kerumunan massa.

Bila pada akhirnya, dalam batas waktu yang harus ditetapkan pemerintah, ikhtiar ini tidak efektif, maka full lockdown dengan menutup (mengunci) suatu wilayah tertentu haruslah dilakukan.

Ini demi mencegah dampak pandemi virus corona yang lebih membahayakan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sehat dan kuatlah terus bangsa Indonesia!

Dr Ahmad Redi, SH, MH
Ketua Program Studi S1 Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/27/19512871/pandemi-corona-dan-lockdown-dalam-diskursus-hukum

Terkini Lainnya

Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke