Setelah pemerintah menyerahkan draf dan surat presiden RUU Cipta Kerja ke DPR, Rabu (12/2/2012), pembahasan belum dimulai. Bahkan, penolakan demi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja terus bergulir.
Penolakan datang khususnya dari para pekerja. Mereka menilai RUU Cipta Kerja meminggirkan kepentingan mereka dan mengutamakan kepentingan pengusaha atau pemilik modal.
PDI-P dan Partai Nasdem satu pandangan bahwa aspirasi kelas pekerja mesti diperhatikan.
Kedua partai pendukung pemerintah itu sepakat, klaster ketenagakerjaan yang ada di RUU Cipta Kerja harus dievaluasi.
Jangan korbankan pekerja
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memastikan DPR dan pemerintah akan membuka ruang dialog dengan semua pihak berkepentingan terkait pembahasan RUU Cipta Kerja.
Ia mengatakan, PDI-P yang memiliki konstituen kelompok buruh dan pekerja, menaruh perhatian terhadap polemik yang muncul akibat RUU Cipta Kerja.
"Kami akan memastikan jangan sampai kepentingan tenaga kerja (buruh) kita dikorbankan karena hal tersebut," ujar Hasto, Senin (9/3/2020).
Hasto pun menyatakan, PDI-P akan membentuk tim khusus untuk menyerap aspirasi para kelas pekerja.
"Maka terkait perbedaan tafsir, harus didialogkan bersama-sama. Toh RUU ini belum final. Beberapa perubahan masih terjadi. Maka dengan dialog itulah kami akan memasukkan apa yang menjadi concern masyarakat," kata dia.
Dalam pertemuan dengan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (9/3/2020), Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyarankan agar sejumlah pasal-pasal kontroversial dalam RUU Cipta Kerja dievaluasi kembali.
Evaluasi harus dilakukan secara cepat, agar RUU Cipta Kerja dapat segera disahkan DPR.
Sebab, menurut Paloh, RUU Cipta Kerja terkait dengan kepentingan nasional yang mesti diutamakan.
"Kami mempunyai kesepakatan terlepas berapa pasal yang dianggap masih kontroversial ini segera untuk kembali diajak mengevaluasi ulang, tetapi dengan time-frame yang tidak terlalu lama," kata Paloh.
Sebab, kata dia, klaster ketenagakerjaan ini menjadi sumber utama penolakan publik atas RUU Cipta Kerja.
"Apa yang salah adalah klaster ketenagakerjaan. Kan ada 11 klaster dalam omnibus law itu. Kalau seandainya presiden mau melakukan 100 hari, maka lebih baik klaster ketenagakerjaan ditangguhkan (ditunda) saja," kata Willy, Senin (9/3/2020).
Menurut dia, jika klaster ketenagakerjaan dihapus, target penyelesaian 100 hari yang diinginkan Jokowi menjadi sangat mungkin.
Willy mengatakan, klaster tentang ketenagakerjaan bisa digabungkan dengan revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004 yang juga masuk daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2020.
"Nanti klaster itu (ketenagakerjaan) dimasukkan saja ke UU PPHI yang masuk ke Prolegnas Prioritas 2020," tuturnya.
"Ketika itu terjadi, nama bisa berubah jadi 'RUU Kemudahan Investasi dan Perizinan'. Itu yang dimaksud Pak Surya (Surya Paloh)," kata Willy.
Kepentingan investor
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.
Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut.
"Ketika kita melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," kata Charles di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
"Kemudahannya bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Jadi bukan kita mudah mencari kerja," tutur dia.
Charles menyoroti soal status hubungan kerja kontrak yang tidak dibatasi. Dia mengatakan, hak-hak pekerja untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan terancam dengan adanya ketentuan itu.
"UU ini mendorong informalisasi kerja. Kayaknya akan menciptakan lapangan kerja dan ikatan kontrak kerja yang mengarah pada informalisasi dunia kerja. Tidak ada kepastian gaji, jam kerja, tidak ada kepastian kesehatan, jaminan sosial. Relasi itu yang mau dibangun," ujar Charles.
Perbudakan modern
Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo menilai, keberadaan omnibus law RUU Cipta Kerja justru akan menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda.
Menurut Ikhsan, pasal-pasal terkait ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja akan menciptakan perbudakan modern.
"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," kata Ikhsan di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Ikhsan menjelaskan, ketika berlaku Koeli Ordonantie memberikan jaminan kepada majikan terhadap pekerjanya jika terjadi masalah.
"Saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin ekspor komoditas-komoditas perkebunan. Untuk menarik banyak investor kemudian mereka membuat undang-undang yang namanya Koeli Ordonantie yang intinya memberikan jaminan kepada pemilik perkebunan akan tenaga kerja yang murah dan dengan perlindungan yang minim," tuturnya.
Ikhsan menyoroti sejumlah pasal dalam RUU Cipta Kerja yang akan merugikan para pekerja.
Salah satunya, para pekerja dihadapkan dengan ketidakpastian karena status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi.
"Indonesia akan melahirkan generasi pekerja muda yang rentan dan juga mudah dieksploitasi dalam kondisi kerja yang buruk. Ketika mereka masuk dalam dunia kerja, mereka akan dihadapkan dengan sebuah ketidakpastian dalam bentuk status hubungan kerja yang kontrak," ujar Ikhsan.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/10/08075721/omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dan-desakan-agar-pekerja-tak-dikorbankan