Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Lenny N Rosalin usai acara penandatanganan pakta integritas Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Kantor Kementerian PPPA, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (31/1/2020).
"Pemahaman di masyarakat (tantangan yang dihadapi). Masih banyak budaya kita yang menyampaikan, anak adalah aset sehingga boleh melakukan apa saja, termasuk dipaksa nikah," ujar Lenny.
Padahal, kata dia, Indonesia memiliki wajib belajar 12 tahun sehingga minimal seorang anak memiliki pendidikan minimal lulus SMA.
Hal tersebut harus dipahami tidak hanya oleh anak-anak tetapi juga orangtua agar perkawinan anak tidak terjadi.
"Tugas orangtua memberikan pendidikan setinggi mungkin," kata dia.
Selain itu, program pencapaian Indonesia Layak Anak 2030 salah satu indikatornya adalah kabupaten/kota tidak boleh ada perkawinan anak.
Dengan demikian, apabila hal tersebut bisa terwujud, maka seluruh anak Indonesia akan sehat, bersekolah tanpa perkawinan anak maupun anak yang bekerja.
Adapun, terdapat 20 provinsi yang angka perkawinan anaknya tinggi menandatangani pakta integritas GEBBER PPA.
Sebanyak 20 provinsi itu adalah Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Utara.
Kemudian Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Jambi, Kalimantan Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua.
Selama 2018, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka perkawinan anak masih ada di 11,2 persen. Targetnya, tahun 2024 dapat diturunkan menjadi 8,4 persen.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/31/20014471/pemahaman-masyarakat-rendah-jadi-tantangan-pemerintah-cegah-perkawinan-anak