Dalam pertempuran antara Indonesia dengan Inggris (pihak sekutu) tersebut, masyarakat Tionghoa ikut angkat senjata hingga menggalang bantuan kemanusiaan.
Iwan Santosa dalam bukunya yang berjudul "Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran. Sejak Nusantara Sampai Indonesia" (2014), mencatat peran tersebut.
Dilansir Kompas.com, Sabtu (25/1/2020), Iwan mencatat adanya tulisan berjudul "Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita" yang dimuat dalam majalah "Merdeka" tanggal 17 Februari 1946.
Tulisan ini diterbitkan dalam rangka peringatan enam bulan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Pada tulisan itu dijelaskan, sebagian warga Tionghoa di Surabaya segera membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Chungking.
Selain itu, dicatat pula Barisan Palang Merah Tionghoa di Surabaya yang giat memberikan pertolongan kepada para korban.
Mereka tidak hanya menolong korban dari masyarakat Tionghoa, tetapi dari segala suku bangsa.
Iwan Santosa juga mencatat di Kota Malang, berdiri Angkatan Muda Tionghoa (AMT) untuk medukung kemerdekaan RI.
Kemudian, ada pula pemuda keturunan Tionghoa yang semasa pendudukan Jepang dilatih dalam Kebotai lantas mendirikan Palang Biru.
AMT dan Palang Biru turut berperan dalam pertempuran-pertempuran di Surabaya pada November 1945.
Baik AMT maupun Palang Biru mendapat tugas memasok ransum bagi para pemuda yang bertempur di garis depan.
Mereka beroperasi hingga kawasan Jembatan Merah dalam pertempuran Surabaya.
Anggota Palang Biru mengangkut korban pertempuran Surabaya ke garis belakang di Mojokerto yang dikuasai penuh RI.
Mereka dipercaya mengatur pemberangkatan kereta api palang merah yang berangkat di Stasiun Gubeng, Surabaya.
Beberapa pemuda keturunan Tionghoa asal Malang juga bergabung langsung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin Bung Tomo.
Selain itu, pemuda Tionghoa asal Minahasa menggabungkan diri dalam kesatuan KRIS (Kebaktian Iakyat Indonesia Sulawesi).
Pertempuran 10 November 1945
Masih dikutip dari pemaparan Iwan Santosa, pada 10 November 1945 Palang Merah Tionghoa membuka 10 pos dengan 11 dokter berikut 600 paramedis.
Pembiayaan kegiatan ini dipikul oleh organisasi Chung Hua Chung Hui.
Ketika pada 10 November 1945 malam dilancarkan serangan massal, pasukan berani mati (di dalamnya ada masyarakat keturunan Tionghoa) ikut menyerbu Inggris dan Gurkha (pasukan bayaran asal Nepal).
Pada pukul 22.00 WIB, seorang keturunan Tionghoa berpidato dalam bahasa Mandarin mengatakan betapa besar korban jatuh di kalangan mereka.
Seorang gadis keturunan Tionghoa juga berpidato meminta perhatian pemerintah Republik Tiongkok tentang kekejaman militer Inggris di Surabaya. Dia berbicara dalam bahasa Inggris.
Menjadi korban pertempuran 10 November 1945
Iwan Santosa menulis, di rumah sakit yang tersebar di seluruh Surabaya dipenuhi korban pertempuran.
Banyak di antara pasien adalah warga keturunan Tionghoa asal Surabaya.
Pada saat itu, Kantor Berita Reuters melansir berita ribuan orang indonesia menjadi korban serbuan militer sekutu.
Laki-laki, perempuan, sipil, maupun militer, dewasa maupun anak-anak dan ikut menjadi korban.
Selain itu korban pun berjatuhan dari kalangan orang keturunan Tionghoa, warga Indo-Belanda dan India.
Namun, panglima tentara sekutu, Jenderal Christison tidak suka jumlah korban pembunuhan massal itu dibesar-besarkan.
Menurut dia jumlah korban tidak mencapai jumlah 1.000 orang.
Berapa jumlah korban di pihak Inggris pun tak diberitakan.
Meski demikian, pidato tokoh Tionghoa tentang kekejaman militer Inggris terhadap rakyat Surabaya dijawab oleh radio Chungking yang menganjurkan pemuda keturunan Tionghoa turut bertempur di samping rakyat Indonesia melawan keganasan Inggris.
Siaran RRI di Jakarta pada 13 November 1945 mengabarkan orang-orang keturunan Tionghoa turut bertempur melawan tentara Inggris di Surabaya.
Adapun radio pemberontak Surabaya mewartakan pemboman yang membabi buta oleh Inggris mengakibatkan banyak korban di kalangan penduduk terutama keturunan Tionghoa.
Selain itu masih ada lagi peristiwa pada 18 November 1945, kantor Palang Merah Tionghoa ditembaki sekutu yang mengakibatkan satu pengurus tewas.
Akibat agresi militer di Surabaya tersebut diperkirakan 1.000 penduduk Tionghoa tewas dan 5.000 lain luka-luka.
Pertempuran terkahir Indonesia dengan Inggris terjadi pada 28 November 1945.
Adapun jumlah korban dari masyarakat Surabaya mencapai 20.000 orang dan korban di pihak sekutu (Inggris) mencapai 1.500 orang.
Catatan resmi pihak Inggris dalam "Kronik Revolusi Indonesia" karya Pramoedya Ananta Toer mengklaim jumlah korban penduduk Indonesia di Surabaya mencapai 6.315 jiwa.
Pertempuran Surabaya adalah pertempuran terkahir yang dihadapi militer Inggris semasa perang dunia II.
Inggris kehilangan dua jenderal dalam pertempuran tersebut yakni Brigadier General Aubertin Walther Sothern (AWS) Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/25/11015231/peran-masyarakat-tionghoa-dalam-pertempuran-10-november-ikut-angkat-senjata