Pasalnya, partai-partai politik terpaksa menggalang kekuatan tertentu sebelum pemilihan berlangsung.
Kongruen secara harafiah dapat diartikan sebagai gambar geometrik yang memiliki bentuk yang sama dan sebangun. Dalam hal ini, pemerintahan kongruen timbul akibat keterpilihan kandidat presiden turut mempengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif di parlemen.
"Pemilu serentak menimbulkan multi-efek yaitu kecenderungan pemilih presiden dan kepentingan presidennya berpengaruh pada pemilihan dan keterpilihan anggota parlemen," ujar Peneliti Senior Perludem Didik Supriyanto seperti dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Selasa (14/1/2020).
"Keterpilihan calon presiden A mempengaruhi keterpilihan calon anggota parlemen dari partai atau koalisi partai yang mengajukan calon presiden A," tutur Didik.
Didik menyampaikan keterangan tersebut ketika dimintai keterangan dalam sidang lanjutan uji materi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Adapun perkara yang dipersidangkan yaitu Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 yang diajukan Arjuna Pemantau Pemilu dan Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diajukan Perludem.
Didik menambahkan, pelaksanaan pemerintahan yang kurang efektif di era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono turut melahirkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.
Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan agar pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak.
"Putusan itu menyatakan bahwa pemisahan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak konstitusional. MK memerintahkan agar kedua jenis pemilu itu dilaksanakan serentak pada 2019. Tujuan putusan itu adalah untuk menguatkan sistem presidensiil,” ujarnya.
Namun dalam pelaksanaannya, ia menambahkan, Pemilu 2019 justru tidak turut menyertakan pilkada secara serentak.
Hal itu justru berpotensi menimbulkan keterbelahan kondisi di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut dia, untuk mengatasi persoalan keterbelahan ini maka perlu dilaksanakan pemilu serentak secara utuh. Dalam hal ini, pilkada juga perlu dilaksanakan secara bersamaan.
"Oleh karena itu perlu dilakukan pemilu serentak total nasional," kata dia.
Sebelumnya, Perludem mengajukan gugatan uji materi terhadap Pasal 167 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan Perludem meminta MK menafsirkan konstitusisionalitas pemilu serentak dengan lima kotak.
"Dengan fakta-fatka dan argumentasi hukum baru dalam pandangan Perludem dan didukung ahli yang kita hadirkan, kami memandang pemilu serentak 5 kotak tidak mampu memenuhi asas kepemiluan yang dikehendaki putusan MK terdahulu," ujar Titi di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (13/1/2020).
Dalam putusan terdahulu, MK memandang keserentakan pemilu bertujuan memperkuat sistem presidensial dan menegaskan efisiensi pelaksanaan pemilu.
"Namun, dalam praktiknya (pemilu serentak) kurang manusiawi dari sisi beban," kata Titi.
Sehingga, Perludem meminta MK menyatakan keserentakan pemilu bisa dibagi menjadi dua.
"Kami minta bahwa mahkamah menyatakan keserentakan pemilu yang dimaksud adalah pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, DPD dan Presiden secara berbarengan," ujar Titi.
"Lalu, dengan selang dua tahun setelahnya diselenggarakan pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD provinsi, kabupaten dan kota dan kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota," tuturnya.
Pasal 167 Ayat (3) UU Pemilu mengatur bahwa pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.
Sementara itu, pasal 201 ayat (7) UU Pilkada menyatakan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/14/16242321/pemilu-serentak-dinilai-hasilkan-pemerintah-dan-legislatif-yang-sejalan