Ia mengaku telah menyampaikan kepada Fachrul bahwa majelis taklim tidak perlu menjadi sasaran kebijakan pemerintah dalam melawan radikalisme.
"Kami sudah ketemu Pak Menag juga dan saya pikir bisa ada saling pemahaman bahwa majelis taklim dan institusi-institusi Islam itu tidak perlu menjadi sasaran kebijakan dalam konteks menghadapi radikalisme," kata Haedar di kantor Pusat Dewan Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Menurut dia, peraturan itu membuat kesan radikalisme bersumber dari agama tertentu, yaitu Islam.
"Karena kesannya radikalisme itu menjadi radikalisme Islam," ujarnya.
Haedar yakin Fachrul menerima dan memperhatikan masukan dari Muhammadiyah.
Ia pun menegaskan Muhammadiyah mendukung perlawanan terhadap paham radikal.
"Saya yakin Pak Menag akan saksama memperhatikan seperti itu. Kami Muhammadiyah tetap bahwa setiap radikalisme yang mengarah pada ekstremisme dan kekerasan baik terkait agama, ideologi, kemudian politik, bahkan ekonomi budaya adalah agenda nasional kita," kata Haedar.
"Tapi kita harus adil, obyektif, dan saksama. Jangan sampai kebijakan-kebijakan itu kemudian malah menjadi kontraproduktif dan mengarah kepada satu institusi saja," imbuh dia.
Selanjutnya, ia pun meminta Fachrul meninjau kembali peraturan tersebut.
"Saya rasa perlu ditinjau ulang bahasanya," kata Haedar.
Sebelumnya, Kemenag menerbitkan Peraturan Kementerian Agama Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim.
Menag Fachrul Razi menilai hal tersebut dilakukan untuk mengetahui majelis taklim mana saja yang membutuhkan bantuan pemerintah saat mengadakan acara besar.
Namun ia menegaskan pendataan majelis taklim ke Kementerian Agama tak wajib.
"Itu kan sederhana maksudnya. Tapi mungkin ada kata-kata yang bunyinya orang menanggapinya salah. Seolah-olah diwajibkan. Enggak diwajibkan sama sekali," kata Fachrul di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (9/12).
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/16/18432591/muhammadiyah-majelis-taklim-tak-perlu-jadi-sasaran-hadapi-radikalisme