Apalagi, PP tersebut hanya mewajibkan PSTE (penyelenggara sistem dan transaksi elektronik) lingkup layanan publik yang mendaftar, sementara untuk layanan privat tidak wajib mendaftar.
Maka, ramai-ramai OTT tadi menyatakan diri sebagai PSE (penyelenggara sistem elektronik) lingkup privat sehingga tidak perlu mendaftar ke pemerintah RI. Lagipula PP itu tidak menyebut soal sanksi terhadap pelanggaran yang mereka lakukan.
Akibatnya jika misal mereka memuat konten-konten negatif tadi, pemerintah hanya mampu mengimbau agar konten itu dihapus atau diblokir.
Sejak 10 Oktober 2019 telah terbit PP Nomor 71 tahun 2019 tentang hal yang sama, tetapi dengan pengaturan yang lebih ketat, khususnya yang menyangkut kewajiban mendaftarkan diri bagi PSE.
PP yang mulai efektif berlaku pada 10 Oktober 2020 itu memberi kejelasan dan keterjangkauan dalam penerapan kedaulatan negara terhadap data dan mengedepankan tanggung jawab penuh PSE.
Berlakunya PP 71/2019, membuat PSE terpaksa memiliki cyber squad untuk mengawasi konten yang masuk dan segera memblokir konten-konten negatif yang muncul sebelum pemerintah RI menemukannnya.
Karena jika pemerintah lebih dulu menemukan, PSE akan kena denda yang jumlahnya sekitar Rp 100 juta per satu konten.
PP 71/2019 mengatur pendekatan pengaturan soal kriteria dan batasan PSE lingkup publik dan lingkup privat, dan pengaturan penempatan pusat data dan sistem PSE secara lebih terukur dan pasti yang menghilangkan keraguan atas kewajiban mereka mendaftar.
PP ini mengatur bahwa PSE lingkup publik meliputi instansi pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah.
Tidak dapat diakses
Sementara PSE lingkup privat diatur dan diawasi kementerian atau lembaga berdasarkan aturan perundangan yang memiliki atau menawarkan portal, situs, aplikasi daring lewat internet di wilayah RI yang digunakan untuk berbagai keperluan bisnis.
Misalnya PSE yang menyediakan, mengelola, mengoperasikan perdagangan barang atau jasa, transkasi keuangan, pengiriman materi atau muatan digital berbayar lewat portal atau situs, surel atau aplikasi lain ke perangkat pengguna.
Mesin pencari, mengoperasikan layanan komunikasi SMS, suara dan video, surel, percakapan dalam platform digital, jejaring dan medsos masuk kriteria ini, selain penyedia berbagai bentuk informasi elektronik, permainan atau kombinasinya.
PSE lingkup privat bebas melakukan kegiatannya dengan kewajiban memastikan efektivitas pengawasan pemerintah dan harus memberi akses dalam rangka penegakan hukum.
PSE lingkup layanan publik diwajibkan melakukan pengelolaan, pemrosesan dan penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di dalam negeri dengan pengecualian terbatas.
Kedua jenis PSE diberi waktu sampai Oktober 2020 untuk memenuhi kewajiban pendaftaran, jika dilanggar ada ancaman sanksi administratif mulai dari teguran tertulis, denda, penghentian layanan (blokir) sementara, pemutusan akses atau dikeluarkan dari daftar.
Kewajiban daftar tidak bisa dihindari, karena tanpa mendaftarkan diri layanan PSE tidak bisa diakses di wilayah RI. Demikian pula PSE terdaftar yang tidak menunaikan sanksi administratifnya akan diputus aksesnya di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam PP 71/2019 ada sekitar 29 pasal, mulai dari pasal 4 hingga pasal 98 yang mengatur ketatnya pengawasan negara dengan berbagai sanksi, yang besaran dendanya akan diatur dalam Peraturan Menteri (PM) Kominfo. [Moch S Hendrowijono, wartawan Kompas (1974 – 2005), Pengamat masalah transportasi dan telematika]
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/11/21092861/pp-71-2019-jadi-andalan-pemerintah-awasi-konten-pornografi-dan-terorisme