JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengumumkan 13 staf khusus yang akan membantunya dalam bekerja. Dari jumlah tersebut, tujuh di antaranya merupakan kalangan milenial.
Ada sejumlah polemik di balik penunjukkan staf khusus ini, mulai dari tidak adanya kewajiban mereka bekerja secara penuh, gaji yang besar, hingga upaya pencitraan yang dilakukan oleh Jokowi.
Presiden sejak awal menyatakan, para staf khusus barunya tak harus berkantor di Istana Presiden setiap hari.
Sebab, sebagian dari mereka merupakan pengusaha muda yang memimpin perusahaan masing-masing.
Ada pula yang kini berniat melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi.
Meski demikian, Jokowi yakin, para staf khusus baru yang ditunjuknya itu dapat menjadi teman diskusi yang memberikan gagasan-gagasan segar dan inovatif.
"Tidak full time, (karena) beliau-beliau sudah memiliki kegiatan dan pekerjaan," kata Jokowi usai memperkenalkan tujuh staf khusus milenialnya ke publik di Istana Merdeka, Kamis (21/11/2019).
Gaji besar
Adapun ketujuh staf khusus baru itu adalah Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise), Gracia Billy Yosaphat Membrasar (CEO Kitong Bisa, peraih beasiswa kuliah di Oxford), dan Aminuddin Ma'ruf (manta Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Selain itu, Putri Indahsari Tanjung (CEO dan Founder Creativepreneur), Adamas Belva Syah Devara (Pendiri Ruang Guru), Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan Sabang Merauke), dan Andi Taufan Garuda Putra (pendiri Lembaga Keuangan Amartha).
Meski tak bekerja penuh di Istana, mereka akan tetap mendapatkan gaji sebesar Rp 51 juta per bulan.
Aturan soal gaji itu tercantum di dalam Peraturan Presiden Nomor 144 Tahun 2015 tentang Besaran Hak Keuangan bagi Staf Khusus Presiden, Staf Khusus Wakil Presiden, Wakil Sekretaris Pribadi Presiden, Asisten dan Pembantu Asisten.
Gaji tersebut sudah termasuk gaji pokok, tunjangan kerja, dan tunjangan pajak penghasilan.
"Ya, kan mereka bekerja 1x24 jam," kata Juru Bicara Presiden yang juga Staf Khusus bidang Komunikasi Fadjroel Rachman, saat ditanya soal besarnya gaji stafsus presiden, Sabtu (23/11/2019).
Menurut pakar hukum tata negara, Refly Harun, keberadaan stafsus tersebut hanya akan membebani anggaran negara yang lebih besar.
"Pekerjaan mereka hanya memberikan opini dan pendapat saja. Kalau hanya itu, lebih baik Presiden dibantu ahli-ahli yang tak diikat jam kerja, cukup diikatkode etik, tidak perlu diberikan kompensasi puluhan juta," kata Refly di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (24/11/2019).
Ia menilai, gaji besar yang diterima para stafsus itu tidak sebanding dengan pekerjaannya.
Selain itu, muncul kekhawatiran produktivitas mereka di masyarakat menurun lantaran bekerja sebagai stafsus.
Soal gaji yang besar, Aminuddin Ma'ruf mengaku, tak mempersoalkan pro-kontra yang ada. Menurut dia, gaji yang diberikan merupakan hak yang harus diterima.
"Hak itu harus diambil," kata Ma'ruf dalam sebuah diskusi di Ibis Hotel Tamarin, Menteng, Jakarta, Sabtu (23/11/2019).
Hal senada disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP Achmad Baidowi. Menurut dia, gaji tersebut merupaka gaji yang layak diterima oleh para staf khusus itu.
"Protokoler kenegaraan memang tak bisa dihindari, mereka mendapatkan hak keuangan sebagaimana protokoler negara. Apakah dia jadi CEO atau apa itu, kan hal yang lain," kata Baidowi dalam kesempatan yang sama.
Gimik
Keberadaan stafsus dari kalangan milenial dikritik banyak pihak. Sebab, jumlah pembantu presiden saat ini sudah terlalu banyak, sehingga membuat lembaga kepresidenan semakin gemuk.
Seperti diketahui, saat ini sudah ada Kementerian Sekretaris Negara, Kepala Staf Kepresidenan, dan Dewan Pertimbangan Presiden yang membantu kinerja presiden.
"Tambun (gemuk) sekali," ucap Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid dalam sebuah diskusi di Ibis Hotel Tamarin, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/11/2019).
Alih-alih membantu presiden, banyaknya stafsus yang ada dikhawatirkan justru akan membuat presiden bingung. Secara khusus, ia memberikan perhatian terhadap keberadaan stafsus milenial.
Ia berharap, mereka nantinya benar-benar memberikan kontribusi besar terhadap pemerintahan.
"Adanya staf khusus, bukan hanya gimmick milenial, tetapi policy," ucap dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon meragukan, para stafsus milenia itu akan banyak membantu kepala negara dalam menjalankan tugasnya.
Sebaliknya, ia menduga, penunjukkan itu tak lebih dari sekedar pencitraan.
"Cuma lipstik saja, pajangan sajalah begitu," kata Fadli di Gedung Lemhanas, Jakarta, Sabtu.
Fadli pun menyoroti inkonsistensi sikap Jokowi. Sebab, dalam banyak kesempatan ia terus menekankan pentingnya perampingan birokrasi.
"Ya, itulah Pak Jokowi. Memang konsisten dengan inkonsistensinya. Apa yang diomongkan kadang-kadang beda dengan yang dilakukan," ujar dia.
Namun, Baidowi meyakini, presiden tidak sembarangan dalam memilih stafsusnya. Setiap stafsus memiliki kemampuan dan rekam jejak yang memang dibutuhkan dalam pemerintahan.
"Kan enggak mungkin juga Pak Jokowi angkat stafsus yang gak punya track record," kata dia.
Sementara itu, menurut Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh, para milenial yang ditunjuk menjadi stafsus akan mendapatkan pengalaman yang besar nantinya.
"Ini katakanlah latihan kalau kamu di sekolah ada kampus, ada magang, kita kenal itu," ucap Surya di Jatim Expo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu.
Ia optimistis, penunjukkan stafsus milenial akan berdampak pada kebijakan pemerintah yang mampu menyerap aspirasi kaum milenial.
Dengan demikian, upaya pemerintah dalam memberdayakan milenial sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dapat lebih terwujud.
"Beliau menyatakan sebagai tempat diskusinya, dia membutuhkan feeding, masukan dari milenial dan diberikan secara resmi menjadi staf khusus. Satu kebijakan yang perlu diapresiasi," kata Paloh.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Haryanti Puspa Sari, Ihsanuddin, Rakhmat Nur Hakim)
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/25/07143761/polemik-stafsus-milenial-kerja-tak-full-time-gaji-besar-hingga-dianggap