Secara materi, bisa jadi biaya pilkada tidak langsung lebih murah. Tetapi, dari segi biaya demokrasi, pilkada tidak langsung justru berpotensi menelan biaya lebih tinggi.
Feri mengomentari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyebutkan bahwa sistem pilkada langsung perlu dievaluasi. Sebab, mekanisme tersebut membutuhkan biaya yang tinggi.
"Siapa bilang biaya pilkada tidak langsung murah? Kalau dari materil dana yang dikeluarkan iya, tapi dari biaya demokrasi, mungkin (pilkada) tidak langsung lebih mahal," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (8/11/2019).
Feri mengatakan, penyelenggaraan pilpres secara langsung pun membutuhkan biaya yang tinggi. Tetapi, dari sistem tersebut, terbangun kehidupan berdemokrasi.
Oleh karenanya, menurut Feri, melihat mekanisme pilkada tidak bisa hanya dari segi biaya, tetapi juga dampak yang dihasilkan.
Feri menilai, kaderisasi kepemimpinan daerah sudah berjalan dengan baik melalui pilkada langsung, dengan lahirnya kepala-kepala daerah yang berkualitas.
"Harga yang tinggi itu sangat pantas karena kita dapat banyak calon-calon pimpinan nasional yang baik," ujarnya.
Feri melanjutkan, seharusnya, sistem pilkada serta pemilu tidak berubah-ubah. Sehingga, setiap stakeholder memahami mekanisme yang berlaku.
Justru, sistem pemilu yang berubah-ubah menyebabkan penyelenggaraan pilkada maupun pemilu menjadi tidak tertib dan tidak efisien.
"Keajegan sistem pemilu membuat penyelenggara belajar membuatnya lebih baik. Jadi salah satu yam buat mahal ya sistem yang suka diubah-ubah itu," kata Feri.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/08/20354641/siapa-bilang-pilkada-tidak-langsung-lebih-murah