Hal itu disampaikan Juru Bicara KPK Febri Diansyah menanggapi praperadilan yang diajukan Djoko kepada KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Hal ini sering dibahas di berbagai sidang praperadilan. Para pemohon cenderung hanya menggunakan KUHAP yang berlaku umum sehingga defenisi penyidikan yang digunakan adalah untuk mencari tersangka," kata Febri dalam keterangan tertulis, Senin (14/10/2019).
Febri mengatakan, hal itu tidak tepat karena mengabaikan ketentuan khusus yang terdapat dalam Undang-undang KPK.
KPK meyakini Djoko telah sah memenuhi syarat menjadi tersangka dalam kasus ini karena Djoko sebagai subjek hukum merupakan penyelenggara negara dan kerugian keuangan negara di atas Rp 1 Milyar.
Febri melanjutkan, KPK telah melakukan pencarian alat bukti sejak proses penyelidikan.
Sehingga, begitu bukti permulaan yang cukup didapatkan dalam tahap penyelidikan tersebut, maka itu berarti minimal dua alat bukti sudah ada.
"Konsekuensi hukumnya, ketika perkara ditingkatkan ke Penyidikan, maka secara bersamaan saat itu sudah ada tersangka," ujar Febri.
Dalam gugatan praperadilannya, Djoko selaku pemohon menilai ia ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya tindakan penyidikan terlebih dahulu, melainkan merupakan hasil penyelidikan.
Menurut Djoko, KPK seharusnya melakukan penyidikan terlebih dahulu mengacu pada KUHAP, dan dalam proses penyidikanlah penetapan tersangka dapat dilakukan.
Di samping itu, Djoko juga menilai KPK tidak berwenang melakukan Penyidikan perkara ini karena sebelumnya Polres Purwakarta telah melakukan Penyelidikan sejak 14 Desember 2017 dan Kejaksaan Agung pada 11 Juli 2018.
Febri menegaskan, alasan tersebut mengada-ada. Ia mengatakan, MoU KPK, Polri dan Kejaksaan pada tahun 2012 yang digunakan Djoko sudah tidak berlaku dan diganti dengan MoU baru pada 2017.
"Apalagi, ketentuan Pasal 50 UU KPK sudah mengatur secara tegas bahwa batasan proses penanganan perkara adalah di Penyidikan, bukan Penyelidikan, yaitu: jika Polri atau Kejaksaan terlebih dahulu melakukan Penyidikan, maka KPK melakukan Koordinasi dan penyidikan itu diberitahukan pada KPK," kata Febri.
Dalam kasus ini, Djoko disangka menyalahgunakan kewenangan sebagai direktur utama untuk mencari keuntungan dalam pengadaan jasa konsultansi di Perum Jasa Tirta II Tahun 2017.
Sejak awal menjabat, Djoko memerintahkan bawahannya melakukan relokasi anggaran.
Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan sumber daya manusia dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp 2,8 miliar menjadi Rp 9,55 miliar.
Setelah revisi anggaran, Djoko memerintahkan pelaksana pengadaan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk seorang pihak swasta bernama Andririni Yaktiningsasi sebagai pelaksana pada kedua kegiatan tersebut.
Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center dan PT 2001 Pangripta untuk melaksanakan proyek.
Selain itu, pelaksanaan lelang diduga direkayasa dengan membuat penanggalan dokumen administrasi lelang secara tanggal mundur.
KPK menduga, terjadi kerugian negara sekitar Rp 3,6 miliar yang merupakan keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/14/22355581/digugat-eks-dirut-jasa-tirta-ii-ke-praperadilan-begini-jawaban-kpk