Menurut dia, hal itu sah-sah saja sepanjang narasi yang dibangun mereka berkualitas.
Meski demikian, ia juga melihat buzzer berisiko membangun perdebatan yang tak produktif dan tak sehat jika mereka menyebarkan narasi yang bersifat menyudutkan.
"Ketika misalnya masyarakat sipil disudutkan gitu ya, dan bukan didebat soal kontennya tapi mengarah kepada organisasi masyarakat sipilnya itu sendiri, atau malah yang diangkat yang enggak ada hubungannya, justru itu yang saya pikir diskusi yang tercipta jadi enggak produktif gitu kan," kata Gita saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).
"Padahal debat yang sehat itu kan penting untuk demokrasi kita," ujar Gita.
Gita mengatakan, para buzzer dapat dengan mudah menggeser perdebatan ke hal-hal yang tidak substansial. Dengan demikian, perhatian publik akan teralihkan.
Mereka bisa melakukan itu dengan penyeragaman narasi, termasuk memutarbalikkan fakta.
"Kalau misalnya ada 6-7 orang agendanya persis sama, pake tagar, sama dan model pengondisian faktanya diputarbalikkan sedemikian rupa, itu kan kita bisa dibilang ada usaha teroraganisir, ada koordinasinya," katanya.
Meski demikian, ia pun menyayangkan fenomena buzzer disikapi pihak pemerintah dengan wacana "menertibkan", seperti yang disampaikan oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.
Fenomena buzzer tidak dapat disalahkan, hanya saja publik yang harus dibuat lebih cerdas untuk memahami agenda para buzzer sehingga tidak terbawa narasi yang dibawa.
"Sementara menurut saya, buzzer itu kan bukan barang baru, sejak pilkada sudah ada, sekarang fokusnya harusnya publik dibikin lebih cerdas," kata dia.
Misalnya, kata Gita, publik sebenarnya harus memersepsikan bahwa buzzer mirip seperti pengiklan.
Mereka bukan menjual barang, melainkan ide, gagasan dan narasi. Publik harus ingat bahwa buzzer kerapkali dibayar.
"Kalau kita lihat mereka sebagai pengiklan kan kita bisa beli atau enggak gitu kan, dia kan juga berbayar. Mereka kan kadang bergerak bersama-sama kan, enggak ada bedanya juga dengan campaign iklan, bedanya yang diperdagangkan bukan barang tapi adalah ide, gagasan," kata Gita.
Selain itu, ia juga menyarankan publik mengidentifikasi siapa saja nama-nama buzzer yang kerap menjadi perhatian.
Gita mengatakan, nama-nama buzzer itu sudah banyak diungkap oleh media massa nasional.
"Siapa-siapa yang disebut buzzer siapa aja itu sumbernya udah disampaikan banyak media nama-namanya. Kita tahulah orangnya itu siapa. Kedua, mereka harus dilihat dari orang yang posting berbayar," ucap dia.
Selain itu, lanjut Gita, jika merasa dirugikan oleh buzzer tak harus diselesaikan lewat ranah pidana. Menurut dia, ranah perdata juga bisa ditempuh jika narasi buzzer dianggap merugikan pihak tertentu.
"Enggak harus melapor ke polisi ya. Misalnya gugat menyangkut kerugian, kemudian potensi pekerjaan yang hilang gara-gara postingan buzzer, begitu misalnya, itu bisa juga," ujar dia.
"Tapi yang bahaya memang ketika buzzer melakukan doxing, identitasnya, nomor kontak pribadi semua dimuat di media sosial oleh si buzzer. Kalau hal seperti itu sih masuk akal kalau si korban melaporkan ke polisi," lanjut Gita.
Terakhir, kata dia, narasi buzzer yang negatif bisa dilawan dengan narasi yang berkualitas. Ini didasarkan atas argumentasi, data dan fakta yang jelas.
Ia pun mencontohkan sikap jurnalis senior Najwa Shihab yang fotonya bersama Tommy Soeharto dinarasikan bahwa Najwa merupakan antek Orde Baru.
Najwa, lanjut Gita, melawan dengan menghadirkan fakta dan konteks soal foto tersebut ke para pengikutnya di media sosial.
Langkah semacam itu yang dinilainya positif dan diperlukan untuk menghadapi narasi buzzer.
"Waktu itu kan, di-spin foto Najwa sama Tommy dibilang dia pro Orba dan di-counter oleh Najwa," kata Gita.
"Menurut saya itu cara yang bagus dan positif ya untuk merepons buzzer konteksnya apa dijelaskan Najwa kenapa berfoto sama Tommy itu jelas, dan hal-hal seperti ini positif," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/08/10405041/buzzer-dinilai-berisiko-membangun-perdebatan-yang-tidak-produktif