Masyarakat Tionghoa juga memegang peranan penting dalam perkembangan TNI.
Dilansir dari buku berjudul Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa, peran ini dipaparkan peneliti bernama Lie Ay Mei dalam karya ilmiah berjudul "Uniform in Diversity".
Makalah itu disajikan di dalam sebuah seminar di Guangzhou, China.
Pada era 1960-an, persentase perwira TNI dari Tionghoa sama dengan persentase jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia saat itu, sekitar 2-3 persen.
Lie Ay Mei berhasil mendapatkan ratusan nama perwira TNI keturunan Tionghoa dalam register TNI. Data itu ia peroleh selama penelitian dengan mencari sejumlah sumber di Indonesia dan Belanda.
Salah satu yang memiliki peran penting adalah Jahja Daniel Dharma alias John Lie. Dia adalah satu-satunya milisi Indonesia keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia.
Pria yang punya julukan Hantu Selat Malaka ini berperan penting dalam memasok senjata dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada 1947.
Berkat peran pentingnya dalam Angkatan Laut RI, nama John Lie juga disematkan menjadi salah satu KRI milik TNI Angkatan Laut RI.
Kemudian, Brigjen (Purn) Tedy Jusuf atau Him Tek Ie menjelaskan, dari teman seangkatannya yang masuk Akademi Militer pada 1962 ada 469 orang.
Dari teman seangkatan yang berdinas 30 sampai 34 tahun, ada sembilan orang yang mencapai pangkat Letnan Jenderal, sebanyak 45 orang mencapai pangkat Mayor Jenderal, dan sebanyak 47 orang mencapai pangkat Brigadir Jenderal.
Adapun dari seluruh teman seangkatannya, ada 11 orang berasal dari etnis Tionghoa.
Selanjutnya, almarhum mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsekal Muda (Purn) Faustinus Djoko Poerwoko pernah mengaku menemui banyak perwira dan kadet dari etnis Tionghoa.
Perwira etnis Tionghoa ini cukup banyak ditemui pada masa persiapan Konfrontasi Ganyang Malaysia 1963-1966.
Djoko juga mengungkap, ada seorang pilot tempur TNI AU dari kalangan Tionghoa bermarga Tjong yang kenal dekat dengan almarhum Jenderal (Punr) LB Moerdani.
Pada masa konfrontasi, pilot itu mengendalikan pesawat Mig 21 yang terbang dari kawasan pantai timur Sumatera dan berhadapan dengan sepasang Hawker Hunter dari Royal Australian Air Force yang berpangkal di Butterworth, Pinang.
Pilot Tjong pensiun dengan pangkat Marsekal Pertama.
Keterlibatan kalangan Tionghoa di militer sudah muncul sejak awal berdirinya satuan Angkatan Udara.
Dua di antaranya yang diketahui adalah Gan Sing Liep dan The Tjing Hoo. Keduanya sejak 1951 sudah bergabung di AU selaku navigator.
Menjelang Reformasi 1998, ada pula sosok Tionghoa dari Tegal berpangkat Marsekal Pertama yang pernah menjadi Kepala Pusat Pengolahan Data.
Berdasarkan catatan Iwan dalam bukunya, ia juga mendapati beberapa perwira Tionghoa yang masih bertugas di TNI saat masa Reformasi.
Salah satunya Surya Margono, Muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi Atase Udara di Kantor Atase Pertahanan Republik Indonesia di Beijing, China.
Selain itu, ada pula Daniel Tjen, perwira TNI yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan TNI Angkatan Darat dan Kepala Pusat Kesehatan Mabes TNI.
Sosok Daniel saat itu menjadi inspirasi bagi pemuda Tionghoa di Kalimantan Barat dalam memenuhi amanat UUD 1945 agar terlibat dalam berbagai upaya pembelaan negara Indonesia.
Catatan Redaksi:
Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-74 Tentara Nasional Indonesia pada 5 Oktober, Kompas.com menuliskan kembali sejarah perkembangan TNI. Sejarah ini menjadi catatan emas TNI dalam mempertahankan kedaulatan atau misi penting di luar negeri.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/06/09144651/peran-prajurit-tionghoa-dalam-perkembangan-tni