Mereka menuntut pemerintah dan DPR membatalkan sejumlah rancangan undang-undang yang dianggap memberangus kebebasan sipil dan melemahkan agenda pemberantasan korupsi sesuai amanat reformasi.
Di Jakarta, aksi unjuk rasa dipusatkan di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Dalam tuntutannya, mahasiswa menolak pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dinilai akan melemahkan KPK.
Mahasiwa juga meminta DPR menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena sejumlah pasal dinilai berisiko memberangus kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Adapula sejumlah rancangan undang-undang yang dianggap bermasalah, yakni RUU Pemasyarakatan, RUU Sumber Daya Air, dan UU Pertanahan.
Aksi unjuk rasa menolak pengebirian amanat reformasi itu tidak hanya terjadi di Jakarta.
Mahasiswa di kota-kota besar, seperti Yogyakarta, Bandung, Malang, Cirebon, dan di Provinsi Sumatera Barat juga turun ke jalan menyuarakan tuntutan mereka.
Respons Jokowi
Presiden Joko Widodo menindaklanjuti aspirasi mahasiswa dengan meminta DPR menunda pengesahan empat rancangan undang-undang.
Empat RUU itu yakni RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan.
Jokowi meminta RUU itu tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019 yang masa tugasnya hanya sampai 30 September mendatang.
"Sekali lagi, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahannya," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9/2019) sore.
Jokowi mengaku sudah menyampaikan langsung permintaan ini dalam rapat konsultasi dengan pimpinan DPR, pimpinan Komisi III, dan para pimpinan fraksi di DPR pada siang tadi.
Jokowi menilai, penundaan ini penting agar DPR dan pemerintah bisa menampung masukan dari masyarakat terkait sejumlah pasal yang masih menuai kontroversi.
"Itu masukan-masukan yang baik dari masyarakat harus didengar oleh DPR," kata Jokowi.
Namun, Jokowi menolak tuntutan mahasiswa untuk mencabut UU KPK hasil revisi.
Jokowi memastikan, ia tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK.
"Enggak ada (penerbitan perppu KPK)," kata Jokowi.
Saat ditanya apa yang membuat perbedaan sikap antara RUU KPK dan RUU lainnya, Jokowi hanya menjawab singkat.
"Yang satu itu (KPK) inisiatif DPR. Ini (RUU lainnya) pemerintah aktif, karena memang disiapkan oleh pemerintah," ujar dia.
KPK disebut hambat investasi
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut, keberadaan KPK selama ini mengganggu investasi.
Hal itulah yang membuat Presiden Jokowi menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR meski mendapa penolakan masyarakat.
"Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami masyarakat," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Menurut dia, UU KPK sebelum direvisi selama ini kurang memberi kepastian hukum sehingga hal itu membuat investor lari.
Sementara itu, UU KPK yang baru direvisi dan disahkan pada 17 September lalu lebih memberi kepastian hukum.
“Maksudnya Undang-Undang KPK yang baru memberikan beberapa landasan bagi kepastian hukum, termasuk bagi investor,” kata Moeldoko.
Ia mencontohkan tak adanya mekanisme untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) dalam UU KPK yang lama.
Akibat hal ini, orang yang menjadi tersangka dan sudah bertahun-tahun tidak ditemukan bukti, statusnya tidak bisa dicabut.
Moeldoko menilai, penetapan status tersangka yang tanpa kepastian ini akan menjadi momok bagi investor untuk menanamkan modalnya. Oleh karena itu, dalam revisi UU diatur wewenang agar KPK bisa menerbitkan SP3.
Hal lain misalnya terkait keberadaan dewan pengawas bagi KPK.
Kepastian hukum inilah yang diyakini akan membuat investasi di Indonesia akan lebih baik.
“Jadi maksud saya bukan soal KPK-nya yang menghambat investasi, tetapi KPK yang bekerja berdasarkan Undang-Undang yang lama masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi,” kata mantan Panglima TNI ini.
Cara lebih elegan
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengingatkan mahasiswa untuk tidak melakukan aksi demonstrasi, tetapi menempuh jalur yang lebih etis dan terhormat.
"Ya kita kan sudah tahu ya bahwa penyampaian pendapat di muka umum itu dibolehkan kalau jalurnya sudah buntu. Ketika ada satu jalur lain yang lebih terhormat, lebih etis ya, ya kirim perwakilan dan bicara, ya dengan institusi yang memang perlu mendengarkan aspirasi masyarakat," kata Wiranto seperti dikutip dari Antara.
Demonstrasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum memang diperbolehkan, tetapi aspirasi akan lebih didengar jika melalui proses dialog.
"Demo-demo seperti ini kan melelahkan, mengganggu ketentraman umum, mengganggu ketertiban dan juga hasilnya kurang bagus karena proses koordinasi, proses dialog itu enggak terjadi," kata dia.
Ia menyarankan perwakilan mahasiswa menemui kementerian atau lembaga yang perlu mendengar aspirasi masyarakat ini lebih baik dibandingkan turun ke jalan.
Wiranto khawatir, demonstrasi ini ditunggangi pihak-pihak tertentu yang bisa berujung pada kerugian masyarakat.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/08484581/gelombang-demo-mahasiswa-kata-jokowi-dan-imbauan-wiranto-cari-cara-elegan