Salin Artikel

Konsistensi Fahri Hamzah Dukung Revisi UU KPK, Dipecat PKS hingga Gol di Akhir Jabatan

Dari era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono hingga akhir periode pertama Presiden Joko Widodo, sikap Fahri Hamzah tidak pernah berubah.

Pemecatannya dari Partai Keadilan Sejahtera juga tak menghalanginya untuk terus mendukung revisi UU KPK.

Ya, upaya DPR merevisi UU KPK memang bukan muncul baru-baru ini. Upaya ini sudah muncul sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu.

Upaya revisi UU KPK pertama kali diwacanakan oleh Komisi III DPR yang dipimpin politisi Partai Demokrat, Benny K Harman, pada 26 Oktober 2010.

Saat itu, Fahri juga masih menjabat sebagai anggota komisi hukum dan ikut mendukung revisi UU KPK.

Pertengahan Desember 2010, DPR dan pemerintah menetapkan revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 sebagai usul inisiatif DPR.

Namun, hingga akhir tahun 2011, DPR belum berhasil membahas revisi UU KPK.

DPR bersama pemerintah kembali memasukkan revisi UU KPK dalam daftar RUU prioritas Prolegnas 2012. Kali ini, Komisi III mulai serius merumuskan draf revisi UU KPK.

Namun, upaya revisi langsung menuai kritik karena komisi hukum menyusun draf yang dianggap banyak pihak dapat melemahkan

Contohnya, penghilangan kewenangan penuntutan, adanya mekanisme penyadapan yang harus meminta izin ketua pengadilan negeri terlebih dulu, serta dibentuknya dewan pengawas.

Pimpinan KPK saat itu turut bereaksi keras menanggapi revisi tersebut. Pada 19 September 2012, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan bahwa revisi dapat mempereteli kewenangan lembaga yang dipimpinnya.

"Kalau penuntutan maupun penyadapan dipereteli, mendingan KPK dibubarkan saja," kata Abraham.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menolak revisi UU KPK karena timing-nya tidak tepat, meski sebelumnya Partai Demokrat sempat mendukung revisi UU tersebut.

Penolakan tersebut disampaikan SBY dalam pidatonya yang menanggapi konflik antara KPK dan Polri.

"Pemikiran dan rencana revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan. Tetapi, saya pandang kurang tepat untuk dilakukan saat ini. Lebih baik sekarang ini kita tingkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi," kata SBY di Istana Negara, Jakarta, pada 8 Oktober 2012.

Proses di Baleg tidak berlangsung begitu alot layaknya di Komisi III DPR. Pada 17 Oktober 2012, semua fraksi yang ada di Baleg sepakat untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK.

Sejak saat itu, pembahasan revisi UU KPK tidak dilanjutkan sampai akhirnya Jokowi terpilih sebagai presiden.

PKS Menolak, Fahri Tetap Mendukung

Upaya revisi UU KPK pada era Jokowi mulai mencuat pada 23 Juni 2015. Sidang paripurna memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Prolegnas 2015.

Pada 7 Oktober 2015, draf revisi UU KPK mulai dibahas di rapat Baleg DPR. Draf tersebut mengatur pembatasan usia institusi KPK hanya sampai 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK.

Ada 45 anggota DPR dari enam fraksi yang menjadi pengusul draf revisi UU KPK tersebut. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 9 orang dari Fraksi Golkar, 5 orang dari Fraksi PPP, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan 2 orang dari Fraksi PKB.

Tak membutuhkan waktu lama, rencana revisi ini kembali mendapat penolakan yang keras dari publik, termasuk internal DPR sendiri. Fraksi PKS menjadi salah satu yang menyampaikan penolakan.

"Isi materi itu bukan perbaikan, tapi pelemahan KPK. Jelas kami tidak dalam posisi itu," kata Sohibul 8 Oktober 2015.

Kendati demikian, Fahri Hamzah melawan keputusan partainya dan tetap mendukung revisi UU KPK. Ia menyebut, banyak orang kini menjadi pendukung KPK hanya bertujuan agar borok mereka itu tak tersorot.

"Banyak yang tidak baca undang-undang tapi sok jadi pahlawan, tunjukkan pro KPK untuk tutupi borok-boroknya," kata Fahri 9 Oktober 2015.

Pada 13 Oktober 2015, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK hingga masa sidang selanjutnya.

Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara.

Dalam rapat konsultasi tersebut, disepakati juga poin yang akan direvisi hanya akan mengerucut menjadi empat hal, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK.

Selanjutnya, pada 26 Januari 2016, DPR kembali menyepakati revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2016.

Kali ini draf RUU memang hanya mencakup empat poin yang telah disepakati sebelumnya, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK. Namun, empat poin tersebut dianggap dapat melemahkan KPK dan tetap mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan.

Fraksi PKS belakangan ikut menolak draf revisi tersebut. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR, Jazuli Juwaini, mengatakan, fraksinya menolak melanjutkan pembahasan revisi UU KPK di Baleg.

"Hasil keputusan rapat pleno Fraksi PKS pada Kamis (11/2) adalah menolak melanjutkan pembahasan revisi UU KPK," kata Jazuli 12 Februari 2016.

Seiring dengan derasnya penolakan, rapat paripurna penetapan revisi UU KPK untuk menjadi inisiatif DPR sudah tertunda sebanyak dua kali.

Sehari menjelang paripurna yang dijadwalkan untuk ketiga kalinya pada 23 Februari 2016, pimpinan DPR kembali melakukan rapat konsultasi dengan Presiden.

Pertemuan tersebut sepakat untuk kembali menunda revisi UU KPK.

"Saya hargai proses dinamika politik yang ada di DPR, khususnya dalam rancangan revisi UU KPK. Mengenai rencana revisi UU KPK tersebut, kami bersepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini, ditunda," ujar Jokowi.

Dipecat PKS

Beda sikap antara PKS dan Fahri Hamzah soal revisi UU KPK ternyata berbuntut panjang. Sikap mbalelo Fahri Hamzah itu membuatnya dipecat dari seluruh jenjang keanggotaan partai.

Keputusan pemecatan Fahri diketok oleh Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016. Pada 1 April 2016, Presiden PKS Sohibul Iman menandatangani SK DPP terkait keputusan Majelis Tahkim tersebut.

"Pimpinan partai menilai pola komunikasi politik FH tetap tidak berubah. Sikap kontroversial dan kontraproduktif kembali berulang, bahkan timbul kesan adanya salig silang pendapat antara FH selaku pimpinan DPR RI dari PKS dengan pimpinan PKS lainnya,” tulis Sohibul dalam keterangan resminya.

Sohibul menyebut, silang pendapat antara Fahri dan Pimpinan PKS itu terjadi dalam sejumlah isu, termasuk terkait revisi Undang-Undang KPK.

Fahri Hamzah pun tidak tinggal diam atas pemecatan PKS. Ia melakukan perlawanan hukum ke pengadilan dan menang di semua tingkatan.

PKS sudah lama mengusulkan Ledia Hanifa untuk menggantikan posisi Fahri, namun pengajuan itu tak pernah digubris oleh pimpinan DPR lainnya.

Namun, dipecatnya Fahri dari PKS membuat ia tak bisa kembali mencalonkan diri di pemilu legislatif 2019. Fahri juga menolak pindah partai. Politisi asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini dipastikan tak akan lagi duduk di Senayan pada periode mendatang.

Di Akhir Jabatan

Kini menjelang masa-masa terakhir Fahri duduk di Senayan, revisi Undang-Undang KPK kembali bergulir. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini upaya revisi UU KPK yang diusulkan DPR mendapatkan lampu hijau dari Presiden Jokowi.

Pada rapat Senin (16/9/2019) malam, DPR dan pemerintah sudah menyepakati seluruh poin revisi.

"Ada beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dan kemudian disepakati dalam rapat panja," ujar Ketua Tim Panja DPR Revisi UU KPK Totok Daryanto saat menyampaikan laporan hasil rapat.

Menurut Totok, ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati dalam revisi UU KPK.

Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.

Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.

Dengan demikian, pembahasan akan dilanjutkan dengan Rapat Kerja antara Baleg DPR dan pemerintah untuk mendengarkan pandangan seluruh fraksi.

Setelah itu, pembahasan revisi UU KPK akan dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Revisi UU pun ditargetkan bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir pada 1 Oktober mendatang.

Jika terealisasi, ini bisa menjadi "kado" DPR di akhir masa jabatan Fahri Hamzah yang sudah menginginkan UU KPK direvisi sejak 9 tahun lalu.

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/17/08554951/konsistensi-fahri-hamzah-dukung-revisi-uu-kpk-dipecat-pks-hingga-gol-di

Terkini Lainnya

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke