Mereka menolak rencana pengesahan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Tidak berapa lama kemudian, kelompok mahasiswa dari sejumlah kampus ikut bergabung dalam aksi unjuk rasa.
Mereka membawa spanduk dan poster yang berisikan tuntutan agar DPR dan pemerintah menunda pengesahan RKUHP.
"Tolak RKUHP Ngawur!"
Ada juga poster berwarna kuning yang bertuliskan "Orde Baru 4.0".
Dalam orasinya, mahasiswa menilai, sejumlah pasal dalam RKUHP mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi serta menyatakan pendapat.
Mereka mencontohkan soal contempt of court, pasal penghinaan terhadap presiden, dan pasal makar.
Bahkan, para mahasiwa menyebut anggota DPR sebagai penganut paham fasisme yang cenderung otoriter karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang.
"DPR fasis, anti-demokrasi," ujar salah satu mahasiwa berjaket kuning saat berorasi. Ia juga mengajak teman-temannya untuk menunjuk Gedung DPR yang berada di balik pagar.
DPR menjadwalkan pengesahan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna pada akhir September.
Menurut jadwal, rapat paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Kendati demikian, draf terbaru RKUHP justru mendapat kritik dari organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai masih terdapat banyak ketentuan pasal yang bermasalah.
Lima substansi dari banyak pasal yang dianggap masih bermasalah, yakni penerapan hukuman mati, tindak pidana makar, pasal warisan kolonial, pidana terhadap proses peradilan, dan living law.
Sementara itu, proses pembahasan RKUHP antara DPR dan pemerintah selama ini juga menuai kritik dari masyarakat.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai, pembahasan tersebut dilakukan secara tertutup dan terkesan diam-diam.
Menurut dia, masyarakat sipil sama sekali tidak mendapatkan informasi bahwa pembahasan RKUHP akan dilakukan pada pada Sabtu (14/9/2019) dan Minggu (15/9/2019) di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta.
"Kami juga tidak dapat mengakses informasi atau dokumen apa pun dari hasil rapat tertutup tersebut," ujar Anggara kepada Kompas.com, Senin (16/9/2019).
Anggara juga mengkritik rapat pembahasan yang dilakukan akhir pekan dan dilaksanakan di sebuah hotel.
"Selain karena pembahasan dilakukan di akhir pekan, juga karena pembahasan tidak tercantum pada jadwal Komisi III dan tertutup karena dilakukan di hotel bukan di ruang rapat Panja RKUHP Komisi III," kata Anggara.
Ia menyayangkan rapat pembahasan yang dilakukan secara diam-diam dan tidak melibatkan masyarakat sipil.
Padahal, menurut dia, materi pasal RKUHP masih banyak yang dinilai kontroversial dan berpengaruh terhadap masyarakat.
Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan rancangan undang-undang seharusnya dilakukan secara terbuka.
Oleh sebab itu, Anggara meminta pengesahan RKUHP ditunda.
"Pembahasan RKUHP yang tertutup jelas menciderai kepercayaan dan amanat rakyat. RKUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda," ucap Anggara.
Berdasarkan catatan ICJR, pembahasan terbuka terakhir dilakukan oleh pemerintah dan DPR pada 30 Mei 2018.
Artinya, hampir 1,5 tahun, tidak ada pembahasan yang terbuka untuk diakses publik.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/16/18382411/mahasiswa-dpr-fasis-anti-demokrasi