Serangan tersebut, menurut Asfinawati, serupa dengan serangan kepada demokrasi yang telah terbangun setelah Indonesia melepaskan diri dari era kediktatoran Orde Baru.
"Serangan kepada KPK dan gerakan antikorupsi sama dengan serangan kepada demokrasi," kata Asfinawati melalui keterangan tertulis, Jumat (13/9/2019).
"Masyarakat Indonesia tidak boleh lupa bahwa bangsa Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter selama 32 tahun, yang berjalan beriringan dengan korupsi, sebagaimana dapat kita lihat dalam TAP MPR X/1998," lanjut dia.
Asfinawati mengingatkan, Firli merupakan sosok yang kontroversial. Pimpinan KPK sudah menyatakan dia melanggar kode etik ketika masih menjabat sebagai Direktur Penindakan KPK atas pertemuannya dengan pihak yang sedang berperkara.
Adapun mengenai revisi UU KPK, sejumlah poin revisi dinilai akan melemahkan KPK secara kelembagaan.
Antara lain, KPK akan ditetapkan sebagai lembaga cabang eksekutif, pimpinan KPK yang dimonitor dewan pengawas, izin untuk menyadap dan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Belum lagi soal teror fisik kepada penyidik KPK yang tidak kunjung usai.
"Sedangkan teror dan intimidasi baik secara fisik, fitnah, peretasan serta pembajakan alat komunikasi terhadap mereka yang melakukan advokasi terhadap kedua hal tersebut merupakan upaya jahat untuk melemahkan gerakan pemberantasan korupsi," lanjut Asfinawati.
Oleh sebab itu, ia pun mengajak masyarakat Indonesia untuk menagih janji Presiden Joko Widodo yang menolak segala bentuk pelemahan KPK.
Ia juga meminta Presiden Jokowi mendengarkan aspirasi publik dengan menghentikan pembahasan revisi UU KPK.
"Meminta Jokowi sebagai presiden untuk mendengarkan suara dan masukan berbagai elemen masyarakat dengan bertindak konkret sebagai kepala pemerintahan dengan menghentikan pembahasan revisi UU KPK," tutur dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/13/16182121/ylbhi-serangan-kepada-kpk-sama-dengan-serangan-ke-demokrasi