Munir dinilai Suciwati sebagai sosok yang pintar, berintegritas, punya kepedulian terhadap sesama. Adapun yang paling mengesankan Suciwati, Munir tidak gila kuasa.
"Dia melengkapi sosok laki-laki yang selama ini ada di mimpi saya. Dia punya semuanya," ujar Suciwati.
"Buat saya, dia juga tidak arogan, tidak gila kuasa, dia orang yang sederhana. Kalau saya bilang, dia laki-laki impian," tuturnya.
Pada Sabtu (7/9/2019), kami bertemu di sebuah kios kecil di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Suasana kedai masih agak ramai ketika kami berbincang.
Puluhan anak muda dengan latar belakang pegiat HAM, seniman, dan mahasiswa baru saja mengikuti acara peringatan 15 tahun kasus pembunuhan Munir.
Meski ramai, pertemuan itu terasa sedikit emosional.
Anak perempuannya, Diva Suukyi Larasati, ikut menemani saat Suciwati menceritakan awal pertemuannya dengan Munir 28 tahun lalu.
Saat itu Suciwati aktif di gerakan buruh Malang, Jawa Timur. Ia mengadvokasi kasus-kasus yang dialami buruh perempuan, dari soal pelecehan hingga perampasan hak.
Suatu hari, Lembaga Bantuan Hukum di Malang mengadakan sebuah diskusi mengenai hukum perburuhan. Beberapa teman aktivis meminta Suciwati untuk datang.
Dalam diskusi itulah pertama kali Suciwati bertemu dengan Munir.
"Waktu itu hari Minggu, saya lagi kerja lembur, tapi saya sempatkan mampir. Di situ saya bertemu pertama kali. Tahun 1991. Saya diajak ke diskusi dan dikenalkan sama mereka (aktivis buruh). Cuma sebentar bertemu dan saya pergi begitu saja," ucap Suciwati.
Tidak lama setelah pertemuan itu, Munir mendapat tugas untuk mengelola LBH Malang. Munir sering bertemu dengan Suciwati dalam kerja-kerja advokasi buruh.
Di LBH, keduanya saling berbagi tugas. Munir mengelola gerakan mahasiswa melalui diskusi rutin di kantor LBH. Sementara Suciwati tetap mengorganisasi gerakan buruh.
"Dari situ intens kami sering bertemu dan berdiskusi. Hingga kami pacaran tahun 1992, menikah 1996," kenang Suciwati.
Sebetulnya Suciwati enggan untuk menjalin hubungan pribadi dengan Munir. Ia khawatir hubungan tersebut malah merusak cita-cita mereka, yakni membangun gerakan buruh.
Namun, karisma Munir tak mampu ia tolak. Suciwati semakin jatuh cinta saat Munir menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tentang analisis gerakan buruh di Indonesia dan membandingkannya dengan gerakan sosial di negara-negara Amerika Latin.
"Aku lihat dia keren sekaligus mengerikan. Zaman itu ya, saya merasa bisa saja di antara peserta itu ada BIN yang tiba-tiba bawa pistol dan menembak dia karena saking kritisnya," ujar Suciwati sambil tertawa kecil.
Suciwati sadar betul dengan segala risiko dan konsekuensi atas keputusannya menikah dengan Munir.
Sebagai aktivis yang kerap menentang kekuasaan negara dan korporasi, Munir Said Thalib lekat dengan intimidasi.
Ruang-ruang kengerian harus ia lalui saat masih hidup dan berjuang bersama Cak Munir.
Ruang yang paling mengerikan telah ia lewati saat suami tercintanya itu kehilangan nyawa di pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam, Belanda.
Setelah 15 tahun berlalu, rasa kehilangan yang begitu menyakitkan masih dirasakan oleh Suciwati. Keinginannya agar pemerintah mengungkap dalang pembunuhan Munir tidak pernah padam.
"Banyak ruang yang pastinya mengerikan dan buat saya memilih dia karena yakin, saya mengerti dan memahami apa yang dia kerjakan. Jadi, kami seperti dalam satu frame yang sama. Saya juga tahu apa risikonya menikah dengan dia," ucap Suciwati.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/09/09573751/suciwati-dan-ruang-ruang-kengerian-yang-dilaluinya-bersama-munir