Menurut Simon, Gus Dur sangat memahami persoalan yang dialami warga Papua. Tidak heran jika di era Gus Dur, orang Papua justru merasa dekat dengan pemerintah.
"Kita tidak punya orang-orang yang mendalami persoalan Papua dan melahirkan narasi yang bisa merangkul orang Papua. Narasi yang seperti Gus Dur," ujar Simon dalam diskusi 'Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua', di Menara Kompas, Jakarta Barat, Kamis (5/9/2019).
Simon mengatakan, kekerasan dan tindakan diskriminatif merupakan permasalahan yang kerap dialami oleh orang Papua.
Gus Dur memahami hal itu dan memilih pendekatan yang berbasis pada kemanusiaan dan kebudayaan.
Sayangnya, pendekatan ala Gus Dur tersebut tidak dijalankan pada pemerintahan berikutnya.
Bahkan, menurut Simon, orang-orang di lingkaran terdekat Presiden Joko Widodo tidak mampu memahami akar persoalan di Papua.
"Presiden Jokowi pun tidak punya orang-orang yang bisa pakai narasi yang bisa membuat rakyat Papua jadi merasa dekat dengan pemerintah," kata Simon.
Hal senada diungkapkan oleh Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo.
Ia menilai, selama ini pemerintah keliru dalam memahami dan menangani segala persoalan warga Papua.
Akibatnya, Papua mudah sekali bergejolak dengan isu referendum dan disintegrasi. Termasuk gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi belakangan ini.
"Kita harus jujur memang ada yang salah dalam cara kita menangani Papua, cara kita memahami Papua. Cara memahami saja sudah keliru, apalagi menangani," ujar Manuel.
Menurut Manuel, kekeliruan dalam memandang persoalan di Papua mulai terjadi setelah era kepemimpinan Gus Dur.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap warga Papua cenderung bersifat teknis, misalnya melalui pembangunan infrastruktur.
Padahal pendekatan teknis seperti itu tidak menyentuh akar permasalahan di Papua, yakni marjinalisasi, diskriminasi, dan kekerasan.
Manuel menjelaskan, selama 32 tahun di masa Orde Baru, masyarakat Papua telah mengalami berbagai macam bentuk ketidakadilan.
Mulai dari operasi militer, eksploitasi sumber daya alam hingga marjinalisasi.
Sementara Gus Dur memahami bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap warga Papua.
Gus Dur memilih pendekatan berbasis kemanusiaan dan kebudayaan.
Seperti diketahui Gus Dur mengabulkan perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. Bahkan ia memberikan keleluasaan bagi warga Papua untuk mengekspresikan identitas kebudayaannya, misalnya pengibaran bendera Bintang Kejora.
Gus Dur juga mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres Rakyat Papua II dan memberikan bantuan dana.
Bagi warga Papua, kongres itu merupakan ruang demokrasi untuk mengaktualisasikan identitas diri mereka.
Pada akhir 2001, muncul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).
Dalam Pasal 2 UU Otsus Papua tertulis bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
"Gus Dur tahu terhadap masyarakat yang punya trauma seperti itu pendekatannya harus beda. Bukan pendekatan technical tapi pendekatan dignity, kebudayaan. Dia mengangkat harkat dan martabat orang Papua," kata Manuel.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/07/06171941/kita-tak-punya-tokoh-yang-paham-persoalan-di-papua-seperti-gus-dur