Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara memastikan bahwa pembatasan akses internet di Papua terpaksa dilakukan demi menjaga kepentingan nasional.
"Ini kan kepentingan nasional dan sudah dibahas dengan aparat penegak hukum," ujar Rudiantara di area Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
Secara spesifik, pembatasan ini terpaksa dilakukan demi mencegah penyebaran berita hoaks yang dapat memicu emosi warga Papua.
Pasalnya, aparat mengidentifikasi, kerusuhan yang dimulai di Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8/2019) lalu, dipicu oleh informasi hoaks dan provokatif.
Kerusuhan juga diketahui terjadi di Fakfak dan Timika dua hari kemudian.
Ada pula informasi hoaks yang tersebar, yakni bahwa personel Polres Surabaya menculik dua orang pengantar makanan untuk mahasiswa Papua di asramanya.
Rudiantara mengaku, sudah berkomunikasi dengan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. Artinya, tidak hanya Kominfo saja yang terlibat dalam pembatasan akses internet sementara ini.
Pembatasan pun tidak dilakukan di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat, melainkan hanya di beberapa kota saja. Misalnya Manokwari, Jayapura, Sorong dan Fakfak.
"Awalnya dilakukan pembatasan, tapi sekarang data (internetnya) tidak berfungsi. Hanya saja masih tetap bisa berkomunikasi orang menggunakan telepon, voice, maupun SMS, ujar Rudiantara.
Dengan demikian, tidak semua akses komunikasi di Papua ditutup.
Saat ditanya sampai kapan pembatasan akses internet diberlakukan, Rudiantara tidak bisa memastikan waktu tepatnya.
"Mudah-mudahan kalau semakin kondusif, ya sudah (pembatasan berakhir)," ujar dia.
Ia meyakini pembatasan tidak akan berlangsung lama. Sebab selain masyarakat, operator juga bakal merugi apabila kebijakan ini dijalankan terlalu lama.
Argumentasi Pembatasan
Rudiantara menegaskan, pihaknya tidak sembarangan menerapkan pembatasan akses internet. Pihaknya memiliki kalkulasi tersendiri kapan pembatasan dilakukan atau tidak dilakukan.
"Ada (hitungannya). Kami kan menghitung. Seperti pada 22 Mei kemarin, kami punya statistiknya. Kami kan tidak bisa suka-suka, begitu lo!" kata dia.
Pada aksi unjuk rasa di pusat Jakarta 22 Mei 2019 lalu yang juga berujung kerusuhan, aparat mengidentifikasi 600 tautan (URL) yang menyebarkan hoaks selama tiga hari berturut-turut.
"Hoaksnya bukan hanya kabar bohong, ada yang menghasut dan yang paling parah itu mengadu domba," kata dia.
Situasi seperti itu, kata dia, dapat menjadi celah pihak tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkannya dengan menghasut dan mengadu domba.
Agar hal yang sama tidak terjadi di Papua dan Papua Barat, maka berdasarkan pembahasan dengan aparat penegak hukum, pihaknya pun membatasinya.
Pro Kontra
Argumentasi pemerintah ini rupanya menuai pro dan kontra. Khususnya di kalangan pegiat HAM. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) salah satunya.
Mereka menilai bahwa pembatasan tersebut merugikan masyarakat Papua dan Papua Barat karena tidak bisa memperoleh informasi, pelayanan publik yang membutuhkan internet serta kebutuhan dasar lainnya.
Bahkan, patut dicurigai pembatasan itu dilakukan untuk menutup=nutupi dugaan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
"Jangan sampai penutupan akses internet ini menunjukkan adanya tekad pemerintah untuk menutup-tutupi kasus dugaan tindakan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua. Sejatinya pemerintah menunjukkan langkah konkret menghapus tindakan diskriminasi," ujar Febi Yonesta, salah satu perwakilan YLBHI saat konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
Petisi tersebut berisi agar pemerintah segera mengaktifkan kembali akses internet di Papua dan Papua Barat.
Pihak pemerintah yang disebut dalam petisi tersebut adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, serta Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara.
"Petisi ini akan menjadi salah satu jalan yang akan ditempuh untuk mengupayakan agar internet di Papua dan Papua Barat dinyalakan lagi secepatnya," kata Executive Director SAFEnet, Damar Juniarto dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (22/8/2019).
Petisi itu juga menyebutkan bahwa pembatasan akses internet itu sama dengan pembatasan akses informasi yang melanggar hak digital.
Terlebih, hak warga negara untuk mendapat dan mengakses informasi sudah diatur dalam pasal 19 ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Spili dan Politik).
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/23/07172221/pembatasan-akses-internet-di-papua-tujuan-mulia-yang-tuai-pro-dan-kontra