Menurut Hamdi, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, setiap orang yang melamar sebagai capim KPK telah diminta mengisi lembar pernyataan yang salah satu poinnya mengenai kesediaan mengumumkan harta kekayaannya apabila terpilih sebagai komisioner KPK.
Jika tidak, kata dia, mereka tidak bisa diangkat sebagai pimpinan KPK terpilih.
"Sehingga LHKPN tidak bisa dijadikan alat seleksi. Tidak boleh dari awal kami minta LHKPN, karena itu melanggar fair treatment. Orang tidak mendapat treatment yang sama," kata Hamdi di Gedung Lemhanas, Jumat (9/8/2019).
Jika LHKPN diminta sejak awal, kata dia, hal tersebut melanggar undang-undang.
Menurut Hamdi, sebagaimana dijelaskan dalam UU tentang KPK, LHKPN akan diminta setelah kandidat capim terpilih sebagai 5 komisioner KPK.
Sementara itu, dalam sistem rekrutmen, para pendaftar juga harus diperlakukan sama.
Apalagi, mereka yang daftar menjadi capim KPK ini tidak semuanya merupakan penyelenggara negara.
"Jadi mereka yang terpilih harus tanda tangan di atas materai bahwa dia harus menyerahkan LHKPN. Itu ketika dia sudah terpilih. Kalau dia tidak ada syarat itu, kita gugurkan," ucap dia.
Hal itulah, kata Hamdi, yang menjadi alasan Pansel Capim KPK tidak meminta LHKPN pada masa tahapan seleksi awal ini.
Dalam proses rekrutmen, menurut Hamdi, seleksi pertama yang dilakukan yakni dari dokumen, kedua adalah tes kompetensi, ketiga psikotes, dan keempat profile assessment.
"Setelah itu baru wawancara. Dalam wawancara track record dibuka semua dan bagi penyelenggara negara, ditanya bagaimana riwayat LHKPN mereka," kata Hamdi.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/09/17232611/anggota-pansel-capim-kpk-lhkpn-tak-bisa-jadi-alat-seleksi