Kerugian itu akibat kompensasi yang harus dibayarkan PLN terhadap 21,9 juta pelanggan yang terdampak gangguan.
Untuk menutup kerugian itu, ada wacana penghematan di internal PLN.
Penghematan itu berupa pemotongan gaji karyawan dan direksi.
Langkah ini dipilih karena PLN tidak mungkin mengandalkan kucuran dana APBN dari pemerintah untuk mengatasinya.
Hal ini dikatakan Direktur Pengadaan Strategis II PLN Djoko Rahardjo Abumanan.
“Enak saja kalau dari APBN ditangkap, enggak boleh. Makanya harus hemat lagi, gaji pegawai dikurangi,” kata Djoko seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Selasa (6/8/2019).
Menanggapi hal itu, pengamat energi dari Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara menilai, pemotongan gaji karyawan sah-sah saja dilakukan.
“Saya kira sepanjang memang tidak melanggar peraturan, tidak melanggar anggaran dasar, anggaran rumah tangga perusahaan, ya boleh-boleh saja sih,” ujar Marwan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/8/2019) malam.
Namun, menurut Marwan, ada konsekuensi yang harus diterima dari penetapan kebijakan ini, misalnya penolakan karyawan.
“Oleh sebab itu, kalau nanti karyawan mau nuntut, bisa saja nuntut ke luar. ‘Wah kami kan hanya menjalankan perintah atasan. Atasannya mendapat intervensi dari luar, kok kami jadi korban’, misalnya,” kata dia.
Kesalahan berbagai pihak
Marwan menilai, blackout yang terjadi pada 4 Agustus 2019 terjadi tidak hanya karena kesalahan teknis pegawai PLN di lapangan.
“Sebetulnya kan kejadian kemarin tidak bisa 100 persen ditimpakan ke karyawan. Ada kontribusi manajemen PLN, ada kontribusi pemerintah juga,” ucap Marwan.
Secara singkat, Marwan menjelaskan, blackout terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah, mulai dari larangan menaikkan tarif listrik dan mewajibkan PLN untuk menerima pasokan listrik swasta dengan skema take or pay.
Kebijakan ini kemudian melahirkan beban bagi PLN karena tidak diimbangi dengan subsidi yang memadai.
Akhirnya, Direksi dan Manajer PLN harus berpikir ulang bagaimana agar bisa tetap memproduksi listrik sesuai kebutuhan di tengah keterbatasan finansial yang ada.
Karyawan, suka tidak suka, harus melakukan tugas yang diberikan meskipun mereka tahu ada sesuatu yang tidak sesuai dengan SOP, demi menyesuaikan kebutuhan biaya operasional perusahaan dengan dana yang ada.
“Nah nyatanya kan subsidinya tidak signifikan, artinya kebijakan politik pemerintah itu juga membuat SOP PLN tidak jalan secara utuh. Kan orang enggak banyak tahu apa yang terjadi pada PLN dengan kebijakan pemerintah yang populis,” ujar Marwan.
“Kontribusi penguasa itu justru lebih besar kalau saya bilang. Ada oligarki antara penguasa dan pengusaha yang tidak bisa dilawan PLN,” kata dia.
Tanggung jawab
Marwan menilai, hal ini terjadi akibat banyak faktor yang satu sama lain memberi peran sama besarnya.
Oleh karena itu, Marwan menilai bukan hanya karyawan yang semestinya menjadi tumbal tunggal atas kerugian yang terjadi.
Manajemen PLN dan pemerintah pantas untuk turut bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
“Saya tidak setuju jika itu hanya ditanggung oleh (karyawan) PLN. Yang punya kebijakan (manajemen) dan kekuasaan (pemerintah) itu harus juga ikut tanggung jawab, begitu, supaya adil saja,” ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/08144161/soal-wacana-potong-gaji-karyawan-pln-pemerintah-dinilai-juga-harus-ikut