Meski mengapresiasi amnesti Presiden Joko Widodo yang membebaskan Baiq Nuril dari segala jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun Mappi FHUI dan ICJR menyebut perjuangan memperoleh keadilan ini semestinya bisa dilakukan dengan lebih singkat.
Hal itu disampaikan Ketua Harian Mappi FHUI, Dio Ashar Wicaksana melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (30/7/2019).
"Proses panjang sampai dengan pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dari Presiden tidak harus terjadi jika perbaikan sistem dilakukan," kata Dio.
Perbaikan sistem yang dimaksud adalah memperbaiki tiga hal, yaitu UU ITE, pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), dan perlindungan perempuan.
Revisi UU ITE
Pertama, yang harus diperbaiki adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Undang-undang yang terkenal memiliki banyak celah untuk kriminalisasi ini disebut menjadi akar seluruh masalah dan harus segera direvisi.
Terdapat sejumlah hal yang dinilai ambigu dan memiliki konteks yang tidak jelas. Misalnya, diksi "kesusilaan" yang tidak didefinisikan dengan jelas apa saja batasannya.
Hal itu membuat UU ITE multitafsir dan mungkin dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi suatu puhak.
"Termasuk tidak ada jaminan untuk melindungi korban kekerasan seksual dalam konteks melakukan pembelaan diri," ujar Dio.
Proses penahanan hanya diberlakukan jika terdapat kekhawatiran tersangka atau terdakwa melakukan hal-hal di luar ketentuan.
Misalnya melarikan diri, menghilangkan atau merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
"Penahanan tunduk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP dengan syarat yang wajib dielaborasi oleh setiap pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan. Dengan begitu penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah hal yang wajib dilakukan," kata dia.
Menurut Dio, penahanan seharusnya dilakukan dengan arahan Penuntut Umum dan izin dari hakim sesuai dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik yang ada.
Perlindungan perempuan
Hal terakhir yang harus diperbaiki adalah perlindungan terhadap perempuan di hadapan hukum pidana.
Kasus yang menimpa Baiq Nuril menurut Mappi FHUI dan ICJR dapat diartikan bahwa hukum di Indonesia masih berorientasi pada penghukuman tersangka, bukan perlindungan korban.
"Kasus Baiq Nuril bukanlah satu-satunya kasus di mana korban pelecehan seksual justru menjadi terpidana dan dihukum," ucap Dio.
Misalnya, perempuan berinisial WA di Muara Bulian dan BL di Jakarta Selatan, korban perkosaan yang divonis bersalah pada tingkat PN karena dituduh melakukan pengguguran kandungan padahal merupakan korban perkosaan.
Contoh lain, AJ korban pelecehan seksual dijerat pidana UU ITE.
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/31/14453971/menuntut-keadilan-untuk-baiq-nuril-mestinya-tak-sepanjang-ini-jika