Jumlah tersebut terdiri dari 143 ASN di tingkat provinsi, dan 981 ASN lainnya di tingkat kabupaten/kota.
Sementara, sebanyak 1.372 ASN sudah dipecat dengan tidak hormat, yang terdiri dari 241 ASN di tingkat provinsi, dan 1.131 ASN di tingkat kabupaten/kota.
Dipertegas MK
Pemecatan terhadap ASN yang tersandung masalah hukum dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini.
Putusan MK mempertegas bahwa ASN yang telah memiliki keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus dipecat. Hal itu juga berlaku bagi PNS koruptor.
Putusan MK yang bernomor 87/PUU-XVI/2018 tersebut diajukan oleh PNS Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Hendrik.
Hendrik telah menjalani hukuman 1 satu bulan penjara atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya dan kembali bertugas.
Ia merasa resah dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) perihal pemecatan ASN dengan keputusan inkrah. Hendrik takut dapat diberhentikan dengan tidak hormat suatu waktu.
Hendrik pun menggugat Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
MK berpendapat bahwa pemberhentian dengan tidak hormat adalah hal yang wajar mengingat ASN tersebut sudah melanggar aturan.
"Seorang PNS yang melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah wajar dan beralasan menurut hukum jika yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf a," seperti dikutip dari putusan MK.
Pasal tersebut berbunyi "PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Putusan MK Dinilai Sesuai dengan SKB
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menilai, putusan tersebut tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) perihal pemecatan ASN koruptor dengan keputusan inkrah.
SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN).
"SKB tersebut sejalan dengan putusan MK dan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian diberi batas waktu melaksanakan putusan tersebut paling lambat tanggal 30 April 2019," ungkap Bahtiar melalui rilis, Sabtu (27/4/2019).
Putusan MK Diharapkan Jadi Dorongan Percepatan Pemecatan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN-RB) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi perihal hukuman bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) koruptor.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Kemenpan RB, Mudzakir, berharap putusan tersebut dapat menjadi dorongan bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) melakukan pemecatan.
"Kami menyambut baik putusan MK karena hal tersebut kami harapkan dapat mendorong para PPK untuk tidak ragu-ragu mengambil tindakan pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH)," kata Mudzakir saat dihubungi oleh Kompas.com, Senin (29/4/2019).
Mudzakir menyebutkan, pihaknya akan terus mendorong PPK melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Nantinya, mereka akan berkoordinasi dengan Kemendagri.
Pejabat yang Tak Lakukan Pemecatan Dikenai Sanksi
PPK akan dikenakan sanksi administratif jika tidak melakukan pemecatan dengan tidak hormat (PDTH) terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang divonis korupsi dan telah memiliki keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Hal itu tertuang pada surat petunjuk Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dengan nomor B/50/M.SM.00.00/2019.
Surat yang ditandatangani Menteri PAN-RB Syafruddin tersebut tertanggal 28 Februari 2019 dan ditujukan kepada para PPK.
Dalam surat itu, dikatakan juga bahwa batas pemecatan paling lambat 30 April 2019.
"Terhadap PPK dan PyB (Pejabat yang Bersangkutan) yang tidak melaksanakan penjatuhan PDTH, dijatuhi sanksi administratif berupa pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan sesuai Pasal 81 ayat (2) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," demikian dikutip dari surat tersebut.
Jadi Momentum Pembuktian Komitmen Negara
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengingatkan Kemendagri dan KemenPAN-RB untuk tegas dan mempercepat pemecatan PNS koruptor.
Lalola mengingatkan, jika terus dibiarkan, anggaran negara akan tetap membengkak untuk terus membayar orang-orang yang sudah terbukti melakukan korupsi.
Situasi ini bisa memperparah kerugian keuangan negara.
Menurut dia, dengan keberadaan putusan MK ini dijadikan menjadi momentum untuk memperlihatkan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.
"Jadi kalau mau lihat komitmen negara soal pemberantasan korupsi bisa dilihat dari sini," kata Lalola di kantor ICW, Minggu (28/4/2019).
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/30/08362031/pasca-putusan-mk-soal-pemecatan-pns-koruptor