KOMPAS.com - Industri film sudah dirilik masyarakat dunia sejak pemutaran film komersial perdana di Grand Cafe di Paris, Perancis. Sejak saat itu, pemutaran film mulai menyebar ke berbagai negara.
Tantangan yang dihadapi industri film adalah berkembangnya siaran televisi. Ketika semakin banyak orang mulai melirik televisi, penjualan tiket film mulai turun dan bioskop membutuhkan cara untuk menarik penonton.
Salah satu caranya adalah dengan mendesain fitur penuh warna, hingga layar lebar dengan fasilitas film tiga dimensi (3D).
Hari ini 66 tahun yang lalu, tepatnya pada 10 April 1953, film pertama dengan kualitas tiga dimensi diperkenalkan ke publik.
Dilansir dari History.com, bertempat di Paramount Theatre, New York, film berjudul The House of Wax mulai menunjukkan kecanggihan kualitas tayangan 3D kepada masyarakat.
Film ini diproduksi oleh Warner Brothers dan tercatat sebagai film 3D pertama. Film bergenre horor ini otomatis mendapatkan perhatian dari publik karena teknologi baru yang digunakan.
Tak hanya dari masyarakat New York saja, masyarakat dari luar kota juga datang untuk bisa menyaksikan teknologi 3D yang disuguhkan.
Mengubah cara
Beberapa pelopor film sebenarnya sudah mengembangkan teknologi pembuatan film 3D. Namun, tak ada perkembangan yang serius karena tanggapan kurang baik dari penonton.
Dominasi film dua dimenasi sudah banyak dikenal dan melekat pada masyarakat luas. Pada 1925, salah satu perusahaan bernama MGM menghasilkan alat yang mampu membuat penonton kagum.
Alat itu ternyata merupakan bagian dari teknologi 3D, sehingga ketika animasi diputar efek cahaya terlalu belebihan dan membuat silau.
Alat ini akhirnya mulai diperbaiki agar penonton lebih bebas dan nyaman saat menonton film. Tantangan yang hadir ketika itu, studio film belum siap melakukannya.
Barulah Warner Brothers melakukan langkah yang brilian karena dominasi televisi di Amerika Serikat. Dia akhirnya membuat film 3D untuk mencari solusi industri film.
Film tersebut disutradarai Andre De Toth, dan The House of Wax adalah remake dari film Mystery of the Wax Museum pada 1933.
Film menceritakan seorang bernama Henry Jarod yang diperankan oleh Vincent Price, seorang pematung yang menjadi gila setelah salah satu temannya membakar museum lilin.
Jarod selamat dari kebakaran dan kemudian membuka museum lilinnya sendiri. Museum itu menampilkan pameran patung lilin yang berjajar rapi.
Tokoh lain dalam film ini yang diperankan oleh Phyllis Kirk, akhirnya menemukan benang merah, ternyata kegilaan Jarod terbukti dengan membunuh beberapa orang. Patung di museumnya merupakan tubuh para korban yang ditutupi lilin.
Inilah film tiga dimensi pertama yang dikembangkan. Proses pembuatan film 3D melibatkan penggunaan dua kamera atau satu lensa kamera berlensa ganda. Kedua lensa ini untuk mewakili mata kanan dan kiri dari orang yang menonton.
Gambar dari dua kamera kemudian diproyeksikan secara bersamaan ke layar. Jadi para penonton yang melihat The House of Wax menggunakan kacamata stereoskopik untuk melihat efek 3D penuh.
Lensa kacamata secara khusus berwarna berbeda antara kanan dan kiri, sehingga penonton yang melihat akan bisa merasakan efek yang dihasilkan.
Proses 3D terbukti sangat efektif selama adegan ketika memasuki lorong-lorong dan diterangi oleh lampu, sehingga kesan seperti nyata hadir dalam momen ini.
Film ini terbukti membawa popularitas bagi setiap pemainnya. Efek film 3D mulai mendapat perhatian dan sambutan hangat dari pecinta film.
Namun, kebangkitan era 3D tak berlangsung lama, banyak film-film tiga dimensi selanjutnya ternyata berkualitas buruk. Efek yang ditimbulkan tak sebaik sebelumnya, dan akhirnya jumlah penonton mulai menurun.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/10/12231271/hari-ini-dalam-sejarah-film-3-dimensi-atau-3d-pertama-dirilis