KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan Amicus Curiae kepada Mahkamah Agung (MA) atas Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril Maknun atas kasusnya.
Amicus Curiae secara sederhana dapat dipahami sebagai teman pengadilan, yaitu pihak yang menawarkan bantuan kepada pengadilan berupa informasi, keahlian, wawasannya terkait kasus yang sedang ditangani tanpa diminta.
Informasi akan disajikan dalam bentuk singkat, dan menjadi hak pengadilan untuk mempertimbangkan atau tidak paparan yang diberikan.
Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, berharap Majelis Hakim dapat memutus kasus ini dengan hati-hati untuk memenuhi rasa keadilan bagi Nuril.
“Kami berharap materi di dalam Amicus bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara,” kata Alicia saat dihubungi Selasa (26/2/2019) siang.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (25/2/2019), ICJR mengirimkan Amicus Curiae kepada MA setelah Nuril mengajukan permohonan PK atas kasusnya.
Dalam kasus ini, kasasi MA menyatakan Nuril divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Putusan MA itu muncul setelah kasus pelecehan yang dialami Nuril dari atasan di tempatnya bekerja, Muslim, diproses di Pengadilan Negeri Mataram.
Kasus ini berawal ketika Nuril merekam percakapan yang terjadi antara dirinya dan Muslim melalui telepon.
Dalam percakapan dengan Nuril, Muslim menceritakan pengalaman hubungan seksual yang ia lakukan bersama wanita yang bukan istrinya.
Rekaman ini digunakan Muslim sebagai barang bukti perlakuan tidak menyenangkan.
Nuril dilaporkan Muslim ke pihak berwajib atas dugaan pelanggaran pasal 27 ayat (1) UU ITE.
“Dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri Mataram, Ibu Nuril dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Namun atas putusan tersebut, jaksa mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung menyatakan sebaliknya dalam putusan kasasinya,” kata Direktur Program ICJR, Erasmus Napitupulu, sebagaimana tertulis dalam rilis.
Hal inilah yang melatarbelakangi ICJR mengirimkan Amicus Curiae.
“Melalui mekanisme Amicus Curiae ini, pengadilan diberikan izin untuk menerima-mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar,” ujar Erasmus.
Sebagai lembaga kajian independen dan advokasi, ICJR memiliki catatan tersendiri terkait putusan MA dalam kasus Nuril.
Pertama, menurut ICJR, MA telah melampaui kewenangannya berdasarkan perundang-undangan, dalam mengadili perkara di tingkat kasasi.
MA sebagai judex juris seharusnya tidak diperbolehkan memeriksa fakta, apalagi menyusun sendiri fakta hukum yang berbeda dengan judex factie.
“Tidak hanya itu, Mahkamah Agung seharusnya dalam memeriksa perkara di tingkat kasasi tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan putusan yang lebih berat dari pengadilan yang sebelumnya,” demikian Erasmus.
Kedua, Majelis Hakim dinilai gagal melihat fakta bahwa bukan Nuril yang melakukan distribusi sehingga rekaman tersebut tersebar. Hal ini sebenarnya sudah diakui oleh MA.
Selain itu, faktor perlindungan diri Nuril yang dalam hal ini merasa dirugikan juga dinilai ICJR gagal dilihat oleh Majelis Hakim.
Terakhir, MA dianggap gagal dalam menjawab pertanyaan hukum yang menjadi masalah dalam putusan judex factie di tingkat kasasi.
Hal ini terkait bukti elektronik yang tidak bisa jadi dasar dakwaan.
“Perkara ini seharusnya tidak layak untuk diperiksa, sebab alat bukti dalam perkara ini kurang memenuhi syarat aturan minimum alat bukti dalam KUHAP,” lanjut Erasmus.
Selain kasus Baiq Nuril, ICJR juga pernah mengirimkan Amicus Curiae untuk beberapa kasus. Misalnya, pada kasus UU ITE Prita Mulyasari, pembunuhan berencana aktivis tani Salim Kancil, dan beberapa kasus lainnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/26/15031291/icjr-kirim-amicus-curiae-ke-ma-untuk-kasus-baiq-nuril