Koalisi menilai tidak ada urgensi bagi DPR dan Pemerintah untuk membahas serta mengesahkan RUU Permusikan untuk menjadi Undang-Undang.
Sebab, draf RUU Permusikan dinilai menyimpan banyak masalah yang berpotensi membatasi, menghambat dukungan perkembangan proses kreasi dan justru merepresi para pekerja musik.
Atas penolakan itu, koalisi juga menginisiasi petisi daring penolakan RUU Permusikan melalui www.change.org.
Hingga Selasa (5/2/2019) pukul 10.00 WIB, sebanyak 170.323 orang telah mendukung petisi tersebut.
Setidaknya terdapat empat alasan yang mendasari ratusan musisi dari berbagai genre itu menolak RUU Permusikan. Keempat alasan tersebut adalah:
1. Pasal Karet
Salah satu pasal yang dipersoalkan oleh koalisi adalah Pasal 5.
Pasal itu berisi larangan bagi setiap orang dalam berkreasi untuk:
(a) mendorong khalayak melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya;
(b) memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan ekspoitasi anak;
(c) memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan;
(d) menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama;
(e) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
(f) membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau
(g) merendahkan harkat dan martabat manusia.
Menurut Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, pasal tersebut bersifat karet dan membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk melakukan persekusi.
Selain itu, Cholil menilai pasal tersebut bertolakbelakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh UUD 1945.
“Pasal karet seperti ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai," kata Cholil seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (4/2/2019).
2. Memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar
Koalisi menilai RUU Permusikan memuat beberapa pasal yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik. Pasal itu dinilai berpotensi memarjinalisasikan musisi independen.
Pasal 10 RUU Permusikan mengatur distribusi karya musik dengan tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri. Menurut koalisi, pasal ini sangat berpotensi memarjinalisasi musisi, terutama musisi independen.
Menurut musisi folk Jason Ranti, pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar.
“Ini kan curang,” kata Jason.
3. Uji Kompetensi dan Sertifikasi
Koalisi memandang bahwa ketentuan mengenai uji kompetensi dan sertifikasi berpotensi mendiskriminasi musisi.
Di banyak negara memang memang menerapkan praktik uji kompetensi bagi pelaku musik. Namun tidak ada satu pun negara yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi.
Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
4. Mengatur Hal yang Tak Perlu Diatur
Koalisi melihat setidaknya ada 19 pasal yang bermasalah. Mulai dari ketidakjelasan redaksional, ketidakjelasan subyek dan obyek hukum yang diatur, hingga persoalan atas jaminan kebebasan berekspresi dalam bermusik.
Misalnya, pasal 11 dan pasal 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktikkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya.
Kedua pasal ini dianggap tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat Undang-undang.
Demikian pula dengan pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia. Koalisi menilai penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/05/12024081/4-alasan-ratusan-musisi-tolak-pengesahan-ruu-permusikan