Ia tiba di gedung DPR sekitar pukul 15.00 WIB dengan didamping tim kuasa hukumnya.
Dalam pertemuan tersebut Buni Yani memaparkan kejanggalan perjalanan kasus yang dialaminya. Di hadapan dua pimpinan DPR itu, Buni juga tidak mengakui melakukan tindak pidana yang didakwakan kepada dirinya.
Pada kesempatan yang sama, Kuasa Hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian, menilai kasus yang menjerat kliennya itu terkesan dipaksakan dan sarat unsur politis.
Sebab, kata Aldwin, awalnya Buni didakwa menggunakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik. Namun dakwaan tersebut berhasil dimentahkan.
Setelah itu Buni didakwa menggunakan pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait penyebaran ujaran kebencian.
Akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Buni Yani.
Buni terbukti sah dan meyakinkan telah melanggar UU ITE, Pasal 32 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE dengan melakukan ujaran kebencian dan mengedit isi video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Perkara proses hukum Buni Yani sudah berjalan dari mulai pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai dengan kasasi yang dari awal memang sarat dengan kontroversi, kental dengan nuansa politis dan terlalu dipaksakan," kata Aldwin.
Aldwin mengatakan, hingga saat ini Buni tidak mengakui telah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh majelis hakim.
Menurut dia, Buni tidak pernah mengedit video saat Ahok melakukan sosialisasi di Kepulauan Seribu yang diunggah melalui akun media sosial.
"Kami meyakini, sampai sekarang Pak Buni sendiri tidak pernah mengakui melakukan editan terhadap video. Videonya utuh. Tapi apa daya proses hukum tetap berlanjut," ucap dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/01/23083061/video-merasa-tak-bersalah-buni-yani-adukan-kasusnya-ke-fahri-hamzah-dan