Dalam kasus ini, hakim Iswahyu Widodo dan Irwan bersama seorang panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Timur Muhammad Ramadhan ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka diduga menerima suap terkait kepengurusan perkara perdata di pengadilan.
Adapun pihak yang diduga menjadi penyuap adalah seorang pengacara Arif Fitrawan dan swasta Martin P Silitonga.
"Teridentifikasi kode yang digunakan adalah "ngopi" yang dalam percakapan disampaikan, 'bagaimana, jadi ngopi enggak?'" kata Alexander dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Rabu (28/11/2018) malam.
Alexander memaparkan, kode "ngopi" tersebut berkaitan dengan janji pemberian uang dari Arifin melalui Ramadhan selaku perantara.
"MR (Muhammad Ramadhan) itu sudah menyampaikan ke oknum hakim tersebut agar dibantu (pengurusan perkara perdata). Kedua hakim itu menanyakan kepada MR, 'Ayo kapan, jadi "ngopi" enggak? 'Nah, itu untuk mereka bertemu," kata Marwata.
Dalam pertemuan itu, kedua oknum hakim tersebut juga menanyakan apakah uang yang dijanjikan melalui Ramadhan sudah ada atau belum.
"Dalam pertemuan tersebut kedua hakim menanyakan apakah uangnya sudah ada apa belum? Seperti itu," papar Alexander Marwata
Diduga realisasi suap sekitar Rp 650 juta
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan, pada awalnya Arif dan Martin menyepakati akan memberikan uang sebesar Rp 2 miliar kepada dua oknum hakim yang menangani perkara perdata tersebut.
"Ternyata ketika dibicarakan ke panitera pengganti MR sebenarnya dealnya Rp 950 juta. Dan ternyata yang direalisasikan ke hakim oleh MR kami duga lebih kecil lagi, sekitar Rp 650 juta," kata Febri.
Ramadhan tercatat pernah menjadi panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelum dimutasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Ia diduga menjadi perantara suap dalam kasus ini.
Realisasi suap tersebut dalam pecahan uang rupiah senilai Rp 150 juta dan 47.000 dollar Singapura. Namun, yang baru diterima oleh kedua hakim tersebut sekitar Rp 150 juta.
Sementara, 47.000 dollar Singapura yang akan diserahkan oleh Ramadhan terhadap dua hakim itu disita oleh KPK.
Pemberian uang terkait kepengurusan perkara perdata Nomor 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel.
Perkara tersebut didaftarkan pada tanggal 26 Maret 2018 dengan para pihak, yaitu penggugat atas nama Isrulah Achmad dan tergugat Williem J.V Dongen serta turut tergugat PT APMR dan Thomas Azali.
Gugatan perdata tersebut adalah pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"PT CLM itu kan punya kekayaan dan punya saham kemudian salah satu pihak itu yang punya PT CLM melakukan perjanjian dengan PT APMR. PT ini mengakuisisi saham CLM," kata Febri.
Pihak penggugat, lanjut Febri, keberatan dengan akuisisi tersebut dan ingin mengembalikan saham tersebut sepenuhnya ke PT CLM lagi.
"Ini yang diduga diurus oleh orang-orang ini agar untuk dua hal, keputusan selanya tidak NO (Niet Ontvankelijke Verklaard). Artinya, lanjut ke pokok perkara. Kedua, agar dimenangkan, jadi akuisisi itu dibatalkan sehingga seluruh saham itu masuk kembali ke perusahaan asal," papar Febri.
KPK menduga pihak yang berkepentingan dalam kepengurusan perkara perdata itu adalah Martin.
Ia sendiri saat ini sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan pelanggaran pidana umum.
"Ada pihak yang diduga berkepentingan, meskipun dia (Martin) tidak masuk sebagai penggugat secara formil. Penggugat formilnya kan Isrulah Achmad," ungkap Febri.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/29/05250091/ada-kode-ngopi-dalam-dugaan-suap-perkara-di-pn-jakarta-selatan