Ia menjelaskan, modus praktik ini secara umum adalah suap dan pemerasan. Menurut Ade, prosesnya seperti melakukan tender, tetapi terkait jabatan tertentu.
"Modusnya macam tender suap, pemberi suap paling besar, dia yang akan dipilih," ujarnya ketika dihubungi oleh Kompas.com, Jumat (26/10/2018).
Nilai dari jabatan tersebut akan bergantung pada seberapa strategis posisi itu. Ade menuturkan, semakin besar anggaran yang dikelola oleh pemegang jabatan tersebut, nilai posisi tersebut pun akan semakin tinggi.
Hal itu akan membuka peluang terjadinya korupsi. Pejabat tersebut dapat melakukan korupsi terhadap proyek yang dikelolanya untuk mempertahankan jabatannya tersebut.
"Suap jabatan jadi awalan korupsi. Karena selanjutnya, supaya si pejabat tetap dengan jabatannya (tidak dimutasi atau no-job), harus terus setor," terangnya.
"Modal untuk setor ya dari korupsi proyek yang dikelola lembaga di lingkungannya. Jadi akan menjadi semacam lingkaran setan korupsi," imbuh dia.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab praktik tersebut, mulai dari ingin memperkaya diri hingga mengembalikan modal pada saat proses pemilihan.
Untuk itu, ia pun menyarankan diberlakukannya lelang jabatan agar prosesnya berjalan adil dan terbuka.
Ade juga menyebutkan pentingnya proses pemilihan kepala daerah yang berintegritas dan terbebas dari segala bentuk mahar politik.
Aspek pengawasan juga menjadi salah satu hal penting, yang dapat dilakukan melalui Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Baru-baru ini, praktik tersebut diduga dilakukan oleh Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra. Ia merupakan salah satu orang yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Cirebon.
Petugas KPK menemukan uang miliaran rupiah yang merupakan barang bukti atas dugaan transaksi suap.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, penangkapan ini diduga terkait jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/26/12432001/icw-praktik-jual-beli-jabatan-seperti-lingkaran-setan-korupsi