Salin Artikel

Nama Setya Novanto di Antara Dua Kasus Korupsi yang Sedang Ditangani KPK

Novanto divonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Novanto, yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Ia dinyatakan terbukti menerima suap 7,3 juta dollar Amerika Serikat dan sebuah jam tangan Richard Mille senilai Rp 135.000 dollar AS.

Meski sudah berstatus terpidana, nama Novanto masih disebut-sebut dalam perkara dugaan korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada dua kasus yang diduga melibatkan Setya Novanto.

Kasus pengadaan di Bakamla

Nama Setya Novanto muncul dalam persidangan terhadap mantan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/9/2018).

Berdasarkan keterangan saksi, Novanto diduga mengetahui penerimaan suap sekitar Rp12 miliar oleh Fayakhun yang berasal dari Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah.

Novanto juga diduga mengetahui adanya aliran uang suap kepada staf Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Ali Fahmi alias Ali Habsyi.

Hal itu terungkap saat pegawai PT Merial Esa Muhammad Adami Okta bersaksi di pengadilan.

Menurut Adami, awalnya Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah diajak untuk mengerjakan proyek pengadaan di Bakamla oleh Ali Habsyi.

Namun, agar anggaran proyek dapat diberikan pemerintah, Fahmi diminta untuk memberikan fee kepada Ali Habsyi dan anggota Komisi I DPR.

Adami mengatakan, Ali Habsyi meminta fee yang harus diberikan sebesar 7 persen dari nilai anggaran yang diperkirakan sebesar Rp1,5 triliun.

Untuk tahap pertama, PT Merial Esa menyerahkan fee sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp12 miliar kepada Fayakhun. Sementara, Ali Habsyi diberikan Rp54 miliar.

Menurut Adami, tiba-tiba terjadi perselisihan antara Fayakhun dan Ali Habsyi. Keduanya sama-sama saling klaim sebagai orang yang dapat mengurus anggaran di DPR.

"Waktu itu sudah terjadi saling klaim dan Pak Fayakhun kecewa," kata Adami.

Menurut Adami, saat itu direncanakan pertemuan di sebuah hotel di Senayan, untuk membahas masalah tersebut. Namun, Ali Habsyi tidak datang.

Fayakhun kemudian membawa Fahmi Darmawansyah dan Adami ke kediaman Setya Novanto.

Saat itu, Fahmi menjelaskan kepada Novanto dan Fayakhun alasannya menyerahkan sisa uang fee sebesar 6 persen kepada Ali Habsyi.

Menurut Adami, Fayakhun kecewa karena uang Rp54 miliar sudah diserahkan kepada Ali Habsyi. Fayakhun kemudian meminta Fahmi memberikan klarifikasi kepada Novanto.

Saat bersaksi di pengadilan, Sekretaris DPD Golkar DKI Jakarta Basri Baco mengakui di antara Fayakhun dan Novanto sempat terjadi permasalahan.

Oleh Novanto, Fayakhun sempat dipindahkan dari Komisi I DPR ke Komisi VIII DPR.

Menurut Basri, Novanto juga pernah ingin mencopot Fayakhun dari jabatan sebagai Ketua DPD Golkar DKI Jakarta.

Persoalan itu diduga karena Fayakhun dianggap tidak pandai dalam mengumpulkan fee terkait proyek di Bakamla.

Menurut jaksa, Setya Novanto rencananya akan dihadirkan sebagai saksi.

Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih yang merupakan anggota Fraksi Partai Golkar, mengakui, uang yang ia terima terkait proyek pembangunan PLTU di Riau, ada kaitannya dengan Ketua Umum Partai Golkar.

Namun, Eni tidak menyebut nama ketua umum yang memerintahkannya menerima uang.

Menurut Eni, segala seuatu terkait dengan proyek dan uang yang ia terima telah diceritakan kepada penyidik.

Salah satunya, penerimaan uang Rp2 miliar yang diduga untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar.

Dalam kasus ini, penyidik KPK telah memeriksa Setya Novanto sebagai saksi.

Bahkan, sempat terjadi polemik setelah Novanto memberikan keterangan dalam proses penyidikan.

Eni Maulani mengaku ditemui Setya Novanto di Rumah Tahanan KPK.

Saat itu, Novanto yang sudah berstatus narapidana dan diminta bersaksi, dititipkan penahanannya di Rutan KPK.

Kepada wartawan, Eni mengatakan bahwa apa yang disampaikan Novanto kepadanya membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Diduga, Novanto ingin memengaruhi keterangan yang akan disampaikan Eni kepada penyidik.

Pengacara Eni, Fadli Nasution membenarkan bahwa kliennya ditemui Setya Novanto di Rutan KPK.

Dalam pertemuan itu, Novanto meminta agar Eni menyembunyikan perannya dalam kasus korupsi pembangunan PLTU Riau-1.

"Pak SN (Setya Novanto) minta Bu Eni tidak membuat keterangan di BAP tentang peran Pak SN dalam proyek PLTU 1 Riau," ujar Fadli Nasution saat dihubungi, Senin (10/9/2018).

Padahal, menurut Fadli, Setya Novanto adalah pelaku utama dalam perkara itu.

Novanto disebut berhubungan dengan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

"Padahal Beliau (Novanto) pelaku utamanya bersama-sama dengan Pak Kotjo," kata Fadli.

Dalam kasus tersebut, Eni diduga menerima suap total sebesar Rp 4,8 miliar yang merupakan komitmen fee 2,5 persen dari nilai kontrak proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt.

Diduga, suap diberikan Kotjo agar proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1 berjalan mulus.

Dalam pengembangan, KPK juga menetapkan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham sebagai tersangka.

Idrus diduga mengetahui dan menyetujui pemberian suap kepada Eni Maulani.

Selain itu, Idrus diduga dijanjikan 1,5 juta dollar Amerika Serikat oleh Johannes Kotjo.

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/13/10033891/nama-setya-novanto-di-antara-dua-kasus-korupsi-yang-sedang-ditangani-kpk

Terkini Lainnya

Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Nasional
Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus 'Ferienjob' di Jerman

Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus "Ferienjob" di Jerman

Nasional
Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Nasional
Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-'bully'

Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-"bully"

Nasional
Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Nasional
Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Nasional
Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Nasional
Jokowi Buka Puasa Bersama Para Menteri, Duduk Semeja dengan Prabowo-Airlangga

Jokowi Buka Puasa Bersama Para Menteri, Duduk Semeja dengan Prabowo-Airlangga

Nasional
Skandal Pungli di Rutan, Dewas KPK Minta Seleksi Pegawai Diperketat

Skandal Pungli di Rutan, Dewas KPK Minta Seleksi Pegawai Diperketat

Nasional
Saat Karutan KPK Tutup Mata soal Pungli Berujung Sanksi Etik Berat...

Saat Karutan KPK Tutup Mata soal Pungli Berujung Sanksi Etik Berat...

Nasional
Kubu Ganjar Dalilkan Suaranya Nol, Tim Prabowo: Tak Ada Buktinya

Kubu Ganjar Dalilkan Suaranya Nol, Tim Prabowo: Tak Ada Buktinya

Nasional
Di Sidang MK, Tim Hukum Prabowo-Gibran Bantah Menang karena Intervensi Jokowi

Di Sidang MK, Tim Hukum Prabowo-Gibran Bantah Menang karena Intervensi Jokowi

Nasional
Soal Bakal Oposisi atau Tidak, PDI-P: Sudah 'Clear', Diserahkan pada Ketua Umum

Soal Bakal Oposisi atau Tidak, PDI-P: Sudah "Clear", Diserahkan pada Ketua Umum

Nasional
Jokowi Targetkan Negosiasi Kepemilikan Saham PT Freeport Selesai Juni 2024

Jokowi Targetkan Negosiasi Kepemilikan Saham PT Freeport Selesai Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke