Khususnya, terkait kebijakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tiga daerah yang meloloskan tiga mantan narapidana korupsi sebagai bakal calon legislatif (bacaleg).
"Kami mendesak Bawaslu RI segera melakukan koreksi terhadap putusan pengawas pemilu di daerah yang mengabulkan gugatan partai politik yang masih mencalonkan mantan napi korupsi menjadi caleg dan calon anggota DPD," ujar aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (27/8/2018).
Sebelumnya, gugatan mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi caleg dikabulkan oleh Panwaslu Toraja Utara, Panwaslih Aceh, dan Bawaslu Sulawesi Utara.
Dalam putusan gugatan, pengawas pemilu dinilai mengabaikan PKPU Nomor 14 dan 20 Tahun 2018 yang melarang dicalonkannya mantan napi korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Padahal, menurut Almas, PKPU ini telah sah dan diundangkan. Menurut dia, sikap Bawaslu tidak hanya mengecewakan keinginan publik untuk memiliki pilihan caleg yang tidak cacat integritas tetapi juga menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Kami juga mendesak Bawaslu RI menjadikan PKPU pencalonan sebagai landasan memutus sengketa pencalonan," kata Almas.
Sebelumnya, pada masa pendaftaran bakal calon legislatif, tiga mantan narapidana korupsi di Aceh, Tana Toraja, dan Sulawesi Utara dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketiganya lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat.
Namun, hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS) sehingga menganulir keputusan KPU yang menyatakan mereka TMS.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/27/08463211/bawaslu-diminta-koreksi-panwaslu-daerah-yang-kabulkan-gugatan-caleg-eks