Menurutnya, hal itu merupakan bentuk protes masyarakat karena tidak diikutsertakan saat elite politik mengambil keputusan, dalam hal ini menentukan capres dan cawapres.
"Kalau yang terjadi lalu reaksinya mereka menjadi kecewa kemudian tidak mau memilih, saya kira itu sesuatu yang wajar dalam demokrasi," kata Jeirry saat dihubungi oleh Kompas.com, Selasa (14/8/2018).
Golput menjadi bukti bahwa publik mulai peduli terhadap pemilu dan masa depan bangsa. Mereka yang mengekspresikan kekecewaannya melalui golput merasa pasangan capres-cawapres yang akan bertanding di kontestasi Pilpres 2019 tidak sesuai harapan masyarakat.
"Jadi mereka (publik) enggak yakin tokoh-tokoh yang tampil (pasangan capres-cawapres) akan membawa sebuah perubahan yang penting dalam kehidupan mereka di masa depan," jelas Jeirry.
Menurut Jeirry, kondisi ini tidak lepas dari elite politik yang kurang peduli terhadap aspirasi publik.
Alih-alih menampung keinginan para konstituennya, parpol malah memanfaatkan stigma di masyarakat terkait keharusan menggunakan hak pilih dalam pemilu.
"Selama ini memang parpol dan paslon kita sudah terlalu dimanjakan dengan mobilisasi-mobilisasi untuk memilih," kata Jeirry.
"Jadi akibatnya, mereka juga enggak punya sense terhadap persoalan-persoalan atau aspirasi publik sehingga apapun yang mereka tentukan ya publik harus ikut," imbuhnya.
Jeirry mendorong parpol kembali melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan masyarakat agar kekecewaan itu surut dan harapan pada capres dan cawapres yang sudah ditentukan bisa muncul.
"Supaya di 2019 nanti lebih banyak orang yang tidak lagi kecewa dan melihat ada sesuatu yang bisa disumbangkan dan dilakukan oleh dua paslon itu," tambahnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/14/16355801/golput-buah-dari-elite-politik-yang-kurang-peduli-pada-aspirasi-publik