Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai bahwa keputusan tersebut harus segera diterapkan pada Pemilu 2019.
"Jadi menurut saya, ini momentum yang harus dipaksa melalui Pemilu 2019," ujar Yunarto ketika dihubungi oleh Kompas.com, Kamis (26/7/2018).
Menurut dia, peraturan anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai adalah harga mati. Jika tidak, akan berpengaruh pada tumpulnya kekuasaan lembaga tersebut.
"DPD ini kan individu yang dianggap mewakili konstituen berdasarkan aspek geografi, tidak boleh itu diintervensi otoritas kekuasaan lain bernama partai," jelasnya.
"(Sudah saatnya), orang mulai bisa membedakan DPD dengan DPR, fungsi partai dengan anggota DPD secara tegas," tambahnya.
Menurut Yunarto, kini hanya masalah pilihan masing-masing anggota maupun calon anggota DPD yang telah mendaftar pada Pemilu 2019. Pilihan terkait apakah akan menjadi anggota DPD atau pengurus parpol.
Melihat mudahnya proses pengunduran diri sebagai anggota DPD, Yunarto menilai seharusnya hal tersebut tidaklah sulit.
MK menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat memberikan kesempatan bagi pengurus parpol untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di partai.
Pengunduran diri tersebut dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum. Dengan demikian, untuk selanjutnya anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang menjadi pengurus parpol adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Uji materi pasal 182 huruf l UU Pemilu diajukan oleh Muhammad Hafidz. Dalam pasal tersebut, terdapat frasa "pekerjaan lain" dalam persyaratan pendaftaran calon anggota DPD dalam pasal tersebut.
Menurut MK, ada ketidakpastian hukum terkait tak adanya penjelasan atas frasa "pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan" dalam pasal tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/27/14342661/putusan-mk-soal-pelarangan-anggota-dpd-merangkap-pengurus-parpol-harus