Menurut Hendardi, implementasi RUU Antiterorisme bakal lebih efektif dalam memberantas terorisme dibandingkan upaya represif.
Dalam draf RUU Antiterorisme yang tengah dibahas, Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki kewenangan baru terkait terkait pencegahan, penindakan dan deradikalisasi.
"Dibanding menghidupkan kembali Komando (Koopsusgab) tersebut, Jokowi lebih baik turut aktif memastikan penyelesaian pembahasan revisi RUU Antiterorisme," ujar Hendardi kepada Kompas.com, Kamis (17/5/2018).
"Karena dalam RUU itulah jalan demokratis dan ramah HAM disediakan melalui kewenangan-kewenangan baru Polri yang diperluas, tetapi tetap dalam kerangka rule of law," tuturnya.
Hendardi mengatakan, pengaktifan kembali Koopsusgab TNI memang dapat menjadi bagian dari upaya memperkuat kemampuan negara dalam menangani terorisme.
Meski demikian, pemanfaatannya harus tetap dalam konteks tugas perbantuan terhadap Polri.
Sebab, ia menilai pendekatan non judicial dalam menangani terorisme bukan hanya akan menimbulkan represi massal berkelanjutan tetapi juga dipastikan gagal mengikis ideologi teror yang pola perkembangannya sangat berbeda dengan di masa lalu.
Koopssusgab, kata Hendardi, harus digunakan untuk membantu dan diposisikan di bawah koordinasi Polri.
Selain itu, harus ada pembatasan waktu yang jelas kapan mulai dan kapan berakhir, sebagaimana satuan-satuan tugas yang dibuat oleh negara.
"Tanpa pembatasan, apalagi di luar kerangka sistem peradilan pidana, Koopssusgab hanya akan menjadi teror baru bagi warga negara. Dengan pola kerja operasi tentara, represi sebagaimana terjadi di masa lalu akan berulang. Cara ini juga rentan menjadi instrumen politik elektoral pada Pilpres 2019," tuturnya.
Secara terpisah Peneliti LIPI sekaligus tim ahli DPR Poltak Partogi Nainggolan menilai wacana pembentukan Koopsusgab TNI dalam rangka penanggulangan terorisme, tidak bisa dibenarkan.
Menurut Partogi, justru pemerintah seharusnya fokus dalam memperkuat data dan operasi intelijen.
"Komando operasi gabungan, itu terlalu salah kaprah. Enggak perlu, seolah ada ancaman negara. Yang perlu adalah data dan operasi intelijen. Itu yang harus kuat dan bagus," ujar Partogi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Partogi mengatakan, TNI bisa saja dilibatkan dalam pemberantasan terorisme, namun dengan situasi dan kondisi tertentu. Misalnya saat ada kondisi dimana ada pendudukan suatu wilayah oleh kelompok teroris.
Ia mencontohkan keterlibatan TNI dalam operasi Tinombala dalam memberantas kelompok teroris pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
Selain itu Partogi juga mencontohkan upaya militer Filipina dalam memberantas kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
"Kalau misalnya ada pendudukan seperti di Poso atau Marawi itu baru boleh TNI turun. Tapi kalau lonewolf atau masih dicurigai dia terkait jaringan teroris, maka cukup operasi intelijen," kata Partogi.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/17/13114261/ruu-antiterorisme-dinilai-lebih-efektif-ketimbang-aktifkan-koopsusgab-tni