Padahal, edukasi merupakan hal penting agar masyarakat tidak termakan berita bohong, hoaks, dan ujaran kebencian.
"Mereka (elite politik) justru mengeksploitasi sentimen yang membuat orang lebih mudah termakan hoaks," ujar Direktur NU Online Savic Ali, usai diskusi di Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Menurut Savic, elite politik justru kerap jadi bagian dari kemunculan dan berkembangnya konten hoaks yang kerap memuat isu sensitif, terutama isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Perkembangan hoaks dan ujaran kebencian dianggap terjadi akibat sentimen-sentimen tertentu. Elite politik dinilai punya modal untuk mengalkulasi berbagai sentimen tersebut, dan ini juga terjadi di berbagai negara.
"Kalau dia punya sentimen negatif, politisi berjasa besar dalam konteks menciptakan yang namanya common enemy, dalam konteks sentimen membangkitkan kebencian," kata Savic.
Di tempat yang sama, pengamat politik J Kristiadi menilai, tak mudah untuk mengidentifikasi keterlibatan partai politik dalam perkembangan hoaks dan ujaran kebencian.
Namun, J Kristiadi mengatakan, elite politik yang berkubang di dalam kekuasan dan ingin berkuasa perlu diwaspadai sebagai aktor berkembangnya hoaks dan ujaran kebencian untuk kepentingan politiknya.
Menurut Kristiadi, ada berbagai cara untuk meredam hoaks. Salah satunya yakni memaksimalkan kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
"Konkretnya, kalau ada suatu hoaks harus bisa diredam real time. Klarifikasi, begini salah. Ini sangat menguntungkan sekali. Saya kira negara bisa mestinya begitu. Sementara untuk jangka panjang, melakukan kesadaran melek digital itu perlu sekali," kata dia.
"Itu bukan hal sepele karena sekarang penegak hukum sadar betul. Ulama dan tokoh besar sudah berbicara seperti itu. Polisi dan tentara kompak," ujar Kristiadi.
Partisan politik
Dalam satu tahun terakhir, menurut Savic Ali, ungkapan ujaran kebencian berbasis agama di media sosial bukan datang dari akun-akun yang teridentifikasi kelompok radikal atau orang fundamentalis.
Namun, sekitar 80 persen ujaran kebencian terindentifikasi datang dari partisan poliitik. Hal tersebut merupakan penelusuran yang dilakukan NU dengan melibatkan ribuan kata kunci, ribuan post atau status di ribuan akun Twitter dan Facebook
"Tetapi teridentifikasi berasal dari orang yang partisan politik," ujar Savic Ali pada 21 Februari silam.
Ia menuturkan, temuan penelusuran NU itu berbeda dengan tiga tahun lalu. Sebab, saat itu ujaran kebencian terindikasi berasal dari orang-orang yang intoleran.
Akibatnya, polarisasi di masyarakat kian meruncing dan membuat eskalasi kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu semakin kian besar. Semua dilakukan untuk kepentingan politik tertentu.
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/14/19374781/elite-politik-diminta-berperan-perangi-hoaks-bukan-mengompori