Proyek yang dimulai pada awal Oktober 2017 dan akan berakhir pada 28 Februari ini ternyata diikuti oleh lebih dari separuh pemilik nomor ponsel, yang menurut catatan, ada 415 juta lebih. Ada 190 juta pelanggan Telkomsel, 97 juta Indosaat Ooredoo, 53,5 juta XL Axiata, 18 juta Smartfren dan 58 juta Tri.
Menurut Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad M Ramli, angka itu merupakan angka pelanggan aktif yang telah terdaftar dan tervalidasi melalui sistem basis data Kementerian Dalam Negeri.
Registrasi kartu prabayar ini merupakan satu di antara kebijakan Menteri Kominfo Rudiantara yang berhasil, selain kebijakan yang belum atau tidak berhasil yaitu soal kerja sama jaringan (network sharing) dan interkoneksi yang berlarut-larut.
Kedua kebijakan tadi mendapat tentangan dari operator dominan, Telkomsel, yang merasa terganggu oleh kemungkinan diizinkannya menyewakan frekuensi kepada operator lain (MOCN – multi-operator core network).
Alasannya, sebagai operator dengan jumlah BTS (base transceiver station) terbanyak, pasti operator lain yang akan menyewa frekuensi di tempat yang mereka tidak mau membangun, karena biaya membangun sangat mahal.
Soal interkoneksi juga mirip, Telkomsel menginginkan tarif interkoneksi dihitung simetris sesuai biaya modal yang sudah dikeluarkan. Ketika pemerintah menurunkan biaya interkoneksi dari Rp 256/menit ke Rp 204/menit, Telkomsel justru minta dinaikkan menjadi Rp 285/menit.
Dalam soal registrasi ulang, dasarnya adalah banyaknya penipuan dilakukan oleh pemilik nomor ponsel prabayar, yang sulit dilacak karena data yang dimasukkan sewaktu mengaktifkan kartu perdana adalah data yang palsu atau tidak benar.
Namun Ahmad M Ramli memberi catatan agar pelanggan prabayar tidak melakukan registrasi dengan nomor KTP (NIK – nomor induk kependudukan) dan nomor KK (kartu keluarga) yang diunggah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dikatakan, tujuan registrasi ini untuk keamanan dan kenyamanan pelanggan, meminimalisasi penipuan dan tindak kejahatan, selain memudahkan pelacakan ponsel yang hilang.
Sulit bela diri
Di lapangan, jika dilihat dari jumlah nomor yang berhasil diregistrasi, kekhawatiran Ramli sangat beralasan, karena saat ini sangat mudah mendapat data kependudukan, tidak hanya NIK tetapi juga KK.
Selain oleh pemilik KTP dan KK, secara resmi kopi KK juga disimpan di ketua RT dan kelurahan, yang walaupun ada ancaman hukumannya, orang bisa dengan mudah mendapatkannya. Tidak perlu kopi KTP, karena dalam KK sudah ada NIK sebagai syarat registrasi.
Selain RT dan kelurahan pemilik kopi KK, perbankan, imigrasi pun selalu meminta kopi KK selain KTP, juga notaris, atau perusahaan leasing. Jadi, ketika kita berhubungan dengan lembaga-lembaga tadi, data kita terbuka lebar dan sudah bisa diunggah siapa pun.
Ini sama seperti halnya ketika kita ditelepon seseorang yang menawarkan kredit atau ancaman dan penipuan, dengan data kita lengkap di tangan mereka. Kalaupun untuk membuat lebih secure dengan mensyaratkan nama ibu kandung, itu pun ada tertera di KK.
Bahwa registrasi akan meminimalisasi kejahatan dan penipuan, boleh jadi, tetapi tidak akan menghilangkannya. Beda dengan ketika belum ada kewajiban registrasi, pengirim pesan via WhatsApp atau SMS atau telepon kejahatan atau penipuan saat ini mudah dilacak, sebagaimana mudahnya melacak keberadaan ponsel yang hilang dengan melihat IMEI-nya.
Masalahnya, yang melakukan penipuan dan kejahatan belum tentu pemilik nama, NIK dan KK yang digunakan untuk registrasi. Akibatnya, seseorang yang tidak berdosa dapat digelandang polisi dan menjadi tersangka tindak kejahatan.
Parahnya, sulit bagi pemilik data tadi untuk membela diri, sebab data yang dipegang polisi sangat akurat. Apalagi ada kebijakan satu nama (NIK dan KK) bisa mendaftarkan tiga nomor prabayar untuk tiap dari lima operator, Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren dan Hutchison Tri Indonesia (Tri).
Dalam kebijakan lama, pelaku kejahatan tidak dapat dilacak karena datanya bodong. Pada kebijakan registrasi yang baru malah tidak ada jaminan pelaku kejahatan yang asli dapat dilacak.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/19/20191801/dilema-registrasi-prabayar-ketika-pemilik-kk-bisa-jadi-tersangka