Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan Mendagri Nomor 1 Tahun 2018 memungkinkan penjabat gubernur diambil dari unsur di luar Kemendagri.
Salah satu pertimbangannya, daerah tersebut dianggap rawan konflik dan perlu ada orang yang memiliki kekuatan untuk mengelolanya.
"Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dan respons yang lebih efektif dan baik dalam memposisikan potensi konflik tersebut menjadi tidak terjadi atau minimalisir," ujar Muradi melalui siaran pers, Jumat (26/1/2018).
Penjabat Gubernur dari perwira Polri dan TNI pernah diterapkan pada Pilkada langsung 2015. Saat itu, kedua perwira ditempatkan sebagai penjabat Gunernur Aceh dan Sulawesi Barat.
Alasan potensi konflik di kedua daerah tersebut menjadi dasar penunjukan polisi dan tentara untuk menduduki posisi tersebut.
Dengan demikian, diharapkan ada koordinasi yang lebih mudah dibandingkan jika dijabat oleh yang bukan dari unsur institusi keamanan.
Pertimbangan selanjutnya, penegasan netral dalam pelaksanaan pilkada. Muradi menyebutkan, ada potensi ketidaknetralan yang bisa mengganggu kualitas pelaksanaan pilkada.
"Sejak awal potensi konflik di Sumatera Utara dan Jabar sebagai mana dua daerah tersebut mengemuka karena calon yang maju salah satunya berasal dari unsur TNI atau Polri. Maka perlu penegasan dari penjabat gubernur untuk tetap menjaga jarak dan pelayanan ke warga tidak terganggu," kata dia.
Muradi tak memungkiri bahwa banyak pihak yang menentang perwira aktif menjadi penjabat gubernur karena bertentangan dengan UU Polri dan TNI.
Baik polisi dan tentara diwajibkan menjaga netralitas dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Namun, kata Muradi, keberadaan untuk mengisi jabatan sebagai pejabat kepala daerah tersebut dimungkinkan karena penekanannya pada pelayanan sebagai kepala daerah.
"Apalagi, bukan tanpa masalah saat penjabat gubernur diisi oleh Sekda menjadi permasalahan tersendiri, karena adanya interaksi yang bersifat tidak netral," kata Muradi.
Pertimbangan strategis lainnya adalah penekanan bahwa Kemendagri ingin memastikan bahwa pelaksanaan pilkada harus menjadi ajang melakukan kontrak baru antara publik dengan para kandidat tanpa paksaaan.
Sejauh ini, kata Muradi, Kemendagri menganggap hal tersebut sulit dilakukan jika berasal dari unsur sipil Kemendagri.
Oleh karena itu, upaya tersebut harus dilakukan dalam perspektif lain.
Muradi mengatakan, pada Pilkada langsung 2015 yang melibatkan penjabat gubernur dari perwira aktif, pelaksanaan Pilkada di Aceh dan Sulbar relatif berjalan baik.
"Pada kondisi tertentu dan pertimbangan strategis dimungkinkan dilakukan, yang mana pada pilkada 2018 ini juga memiliki pertimbangan yang kurang lebih sama," kata Muradi.
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/26/13033341/ini-alasan-perwira-tni-dan-polri-dimungkinkan-jadi-penjabat-gubernur