Untaian kalimat itu menjadi bagian dari epilog buku "Emak" karya Daoed Joesoef, tokoh pendidikan, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan III di era Presiden Soeharto.
Pada Selasa (23/1/2018), Daoed berpulang, menyusul Emaknya.
Berbagai kenangan Daoed Joesoef soal emak, ibu yang melahirkan, mendidik, dan membesarkannya, meninggalkan kesan bagi mereka yang membacanya.
Buku "Emak" terbit pada tahun 2003, ketika Daoed berulang tahun ke-77. Buku setebal lebih dari 400 halaman itu menjadi memoar dan segala kenangan Daoed tentang emak sebagai sosok yang sempurna baginya.
Hampir semua bab pada buku ini, kecuali Bab I, selalu diawali dengan "Emak dan...".
Kenangan Daoed akan sosok emak tak hanya soal kelembutan kasih sayang, tetapi juga bagaimana emak menjadi "dunia" baginya. Dengan segala keterbatasannya, emak memperkenalkan banyak hal dengan caranya.
"Kami tak berani membayangkan bagaimana jadinya hidup tanpa emak, walaupun dia sendiri sering mengatakan bahwa bapaklah yang membanting tulang menjadi pencari nafkah utama bagi seluruh keluarga," tulis Daoed, mengawali Bab I "Emak" (hal 1).
Secuplik kisah emak
Pada salah satu bagian bukunya, Daoed juga menggambarkan sosok emaknya sebagai seseorang yang punya prinsip, pendirian, dan kemauan yang kuat. Di Bab X "Emak dan Keretangin", Daoed menceritakan bagaimana emaknya ingin belajar naik keretangin (sepeda).
Alasannya sederhana, agar bisa pergi lebih jauh dalam waktu yang singkat dan bisa membawa belanjaan lebih banyak.
Ketika emak menyampaikan ini, tutur Daoed, ia, bapak, dan saudara-saudaranya terhenyak. Berikut percakapan emak dan bapak yang dituangkan Daoed pada bagian ini:
"Nik, kita ini tidak muda lagi," kata bapak sejenak kemudian.
"Sejak kapan ada pembatasan umur untuk berkeretangin?" sambut emak.
"Saya lihat nyonya-nyonya Belanda yang lebih tua daripada saya naik keretangin kesana-kemari. Dan badannya gemuk-gemuk lagi".
"Ya itulah, mereka lain sih...".
"Lain bagaimana? Mereka dan kita sama-sama manusia. Bedanya kan cuma di warna kulit. Akan saya buktikan bahwa saya pun bisa berkeretangin seperti perempuan-perempuan Belanda itu".
Emak terus berargumen dengan bapak soal keinginannya belajar berkeretangin. Si bapak khawatir, si emak menjadi bahan gunjingan para tetangga.
"Biarkan perempuan-perempuan sini menggunjing di belakang saya. Heran, kok mereka begitu benci pada kemajuan. Picik bagai katak di bawah tempurung," demikian pernyataan emak yang dikutip Daoed, menjawab kekhawatiran bapak.
Daoed mengungkapkan, jika emaknya sudah punya keinginan, maka ia akan berusaha mewujudkannya. Emak memutuskan akan membeli sepeda bekas dari tabungan yang dikumpulkannya dari hasil jahitan dan katering, sehingga tak mengganggu keuangan keluarga.
Banyak lagi kisah-kisah kenangan Daoed akan sosok emak tentang berbagai hal, soal pluralisme, agama, seni, keilmuan, dan sebagainya.
Pada akhir bukunya, Daoed juga menuangkan kesedihan saat emak berpulang setelah beberapa bulan ia berada di Sorbonne, Perancis, untuk melanjutkan studi.
"Emak meninggal beberapa bulan setelah aku sekeluarga berada di Paris. Ketika berita duka ini tiba, aku sedang bersiap-siap untuk mulai menempuh rangkaian ujian 'Doctorat d'Etat' di Sorbonne. Kalau aku berhasil menempuh program akademis tertinggi ini, aku akan menjadi orang Indonesia pertama yang bergelar doktor melalui program bergengsi ini. Jadi hal ini betul-betul merupakan satu tantangan bagiku. Emak pasti bangga melihat aku berani menerima tantangan ini," tulis Daoed.
Daoed melanjutkan, "Maka berita kepergian emak ke alam baka, memenuhi panggilan panggilan Allah SWT yang selama ini disembahnya lima kali sehari dalam sembahyang lima waktu, sungguh mengejutkan aku. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun".
Selamat jalan, Pak Daoed...
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/24/09570651/mengenang-daoed-joesoef-mengenang-emak