Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak.
Pemohon dalam gugatannya meminta Pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.
Terkait Pasal 292, Pemohon meminta dihapuskannya frasa "anak" sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, Pemohon meminta pelaku homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
Ketua Persatuan Islam Istri (Persistri) Titin Suprihatin menilai, perlu perluasan makna pada ketiga pasal tersebut. Hal itu disampaikan Titin saat memberikan tanggapan sebagai pihak terkait dalam sidang gugatan uji materi terhadap pasal tersebut, di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2016).
Titin menyoroti aturan perzinaan pada Pasal 284 KUHP. Ketentuan pasal itu, menurut dia, memungkinkan tidak dipidananya pelaku perzinaan, baik laki-laki atau perempuan, yang belum menikah.
Titin mengatakan, makna dalam pasal-pasal tersebut perlu dijelaskan secara detail.
"Perzinaan yang dilakukan oleh orang yang tidak menikah, hubungan sesama jenis baik sesama orang dewasa mapun sesama anak-anak sudah menjadi teror kejahatan seksual yang sangat meresahkan bagi ketahanan keluarga yang berkualitas," ujar Titin.
Selain itu, dampak dari perzinaan secara umum dinilainya merugikan pihak perempuan.
"Hamil di luar nikah, pembunuhan dan pembuangan bayi yang tidak diinginkan, sampai pembunuhan perempuan yang sedang hamil tersebut," kata dia.
Persistri, lanjut Titin, tidak berharap pasal ini dipertahankan.
"Kami perempuan Indonesia tidak mengharapkan pasal-pasal ini terus dipertahankan, hanya karena dalil internasional tentang HAM yang jelas bertentangan dengan nilai Ketuhanan yang Maha Esa. Padahal kita punya rumusan sendiri tentang HAM itu," kata Titin.
Berbeda dengan Titin, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berharap MK menolak atau tidak dapat menerima permohonan uji materi sejumlah pasal terkait kejahatan terhadap kesusilaan di KUHP.
Erasmus menilai jika permohonan tersebut dikabulkan maka Indonesia akan menghadapi bencana krisis kelebihan tindak pidana atau over criminalization.
"ICJR sejak dari awal menegaskan bahwa apabila permohonan ini diterima, maka Indonesia akan diterpa krisis kelebihan tindak pidana," ujar Erasmus melalui keterangan tertulisnya, Rabu (13/12/2017).
Erasmus menuturkan, memperluas makna zina dengan cara menghapus syarat ikatan perkawinan atau mengkriminalkan hubungan seksual suka sama suka dan memidana hubungan seksual sesama jenis jelas akan menimbulkan hukum pidana yang berlebihan.
Menurut dia, penggunaan hukum pidana yang berlebihan akan menimbulkan dampak buruk, tidak hanya pada warga negara, namun juga pada institusi negara.
Erasmus pun memaparkan lima dampak jika permohonan uji materi diterima MK. Pertama, meningkatnya jumlah tindak pidana.
Kedua, sejalan dengan poin pertama, maka akan terjadi ledakan penghuni Rutan dan Lapas. Sementara saat ini indonesia masih mengalami kelebihan beban di Rutan dan Lapas.
Ketiga, menambah beban penegakan hukum. Fokus aparat penegak hukum yang seharusnya ditingkatkan untuk memecahkan kasus-kasus rumit dan modern, kata Erasmus, akan sirna karena dibanjiri dengan kasus-kasus kesusilaan.
Keempat, fenomena main hakim sendiri dari masyarakat. Erasmus mengatakan, jika aparat penegak hukum kehabisan sumber daya akibat jumlah kasus yang bertambah banyak dan saat aparat penegak hukum tidak mampu untuk menunjukkan efektifitas penegakan hukum, maka akan terjadi penurunan kepercayaan publik pada sistem peradilan pidana.
"Warga negara bisa jadi tidak memahami bahwa beban kasus semakin banyak, tidak akan mampu diimbangi dengan sumber daya aparat yang terbatas, hasilnya bisa diduga, akan banyak tindakan main hakim sendiri," tutur Erasmus.
Kelima, negara akan semakin mengkontrol ruang privasi warga negara. Dalam kondisi ini, maka hukum pidana akan menjadi alat yang sangat efektif untuk mengontrol warga negara.
Aparat penegak hukum, kata Erasmus, akan sangat mudah menggunakan dalil delik kesusilaan untuk masuk ke ruang privasi warga negara. Akibatnya, negara tidak lagi mampu menjamin hak privasi dari warga negara karena penggunaan instrumen pidana yang berlebihan.
"Untuk itu, ICJR berharap MK masih jernih dalam memastikan bahwa over criminalization tidak akan terjadi, perdebatan konstitusional terkait pasal-pasal yang diuji semestinya sudah selesai begitu MK menyadari bahwa memperluas delik kesusilaan hanya akan menambah beban dari negara tanpa ada hasil yang pasti," ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/14/07301091/kamis-ini-mk-putuskan-uji-materi-pasal-kesusilaan-dalam-kuhp