"Pemerintah dalam hal ini juga berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak disabilitas. Persoalan ini kan karena tidak tuntas dalam hal kebijakan," kata tim kuasa hukum Dwi Ariyani, Ikhwan Fahrojih di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (7/12/2017).
Dia menuturkan, Pasal 135 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk membuat ketentuan lebih lanjut mengenai layanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus bagi penyandang disbiitas dalam bentuk Peraturan Menteri (permen).
"Tetapi dari 2009 sampai sekarang permen itu tidak pernah diterbitkan. Nah, itulah ada kekosongan hukum. Jadi, kejadian kemarin tidak lepas dari kekosongan hukum, ketidakpastian hukum bagi penyandang disabilitas," kata Ikhwan.
Lebih lanjut dia mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan Dwi Ariyani memiliki arti penting karena menjadi yurisprudensi bagi pembuatan regulasi perlindungan hak penyandang disabilitas.
"Kami harapkan menjadi sumber hukum baru, yurisprudensi yang harus dipatuhi semua maskapai dalam memperlakukan penyandang disabilitas dalam memanfaatkan moda transportasi udara," kata dia.
"Kami mendorong pemerintah segera membuat Permen berkaitan perlindungan disabilitas di sektor penerbangan, yang sudah diamanatkan di pasal 135 UU 1/2009," ucap Ikhwan.
Ketua Lembaga Advokasi dan Perlindungan Penyandang Cacat Indonesia (LAPPCI) Heppy Sebayang menambahkan, sebelum Dwi Ariyani, perlakuan diskriminatif juga dialami oleh Ridwan Sumantri, penumpang Lion Air yang menggunakan kursi roda.
Dia pun berharap, kasus Dwi Ariyani menjadi preseden terakhir diskriminasi terhadap perempuan disabilitas.
"Kami mengharapkan kejadian yang dialami oleh Dwi Ariyani tidak terulang kepada siapapun penyandang disabilitas," katanya.
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/07/15424621/kemenhub-dianggap-lalai-hingga-terjadi-kasus-dwi-ariyani