Bisnis penerbangan memang sudah berevolusi sedemikian rupa, mampu meningkatkan mobilitas manusia dengan efisien serta terbukti berkontribusi positif terhadap perekonomian daerah.
Sayangnya, hal ini belum banyak dirasakan oleh jutaan penduduk Indonesia yang tersebar dipelosok Nusantara. Akses ke daerah pedalaman maupun pulau-pulau terpencil masih serba terbatas mengingat penyelenggaraan penerbangan perintis belum optimal, baik infrastruktur maupun legislasinya.
Berbicara mengenai penerbangan perintis, tampaknya tidak dapat jauh dipisahkan dari Merpati Nusantara Airlines. Sayang sekali maskapai pelat merah tersebut telah berhenti beroperasi karena masalah keuangan pada Februari 2014.
Tidak dapat dimungkiri, keadaan tersebut telah melemahkan jembatan udara Nusantara yang kita punya. Beberapa maskapai memang tengah berupaya mengisi kekosongan ini, sebut saja Susi Air dengan armada pesawat kecilnya yang tengah naik daun. Namun, upaya tersebut belum terasa cukup untuk menambal lubang-lubang yang ditinggalkan Merpati.
Tenggelam di tengah ingar-bingar kebangkitan sektor maritim Indonesia, penerbangan perintis seperti dianaktirikan. Instrumen hukum memang telah hadir, yang menjadi masalah adalah implementasinya.
Sebagai contoh, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2017, salah satu nyawa penyelenggaraan penerbangan perintis, telah menetapkan 193 rute untuk tahun ini lengkap dengan daftar tarif bersubsidi. Namun, bukan jaminan seluruh rute tersebut benar-benar akan diterbangi.
Terdapat beberapa faktor lain yang menentukan, salah satunya ketersediaan anggaran. Ketiadaan alokasi atau kosongnya kas pemerintah daerah maupun pusat berarti tidak terselenggaranya penerbangan perintis.
Dalam kasus ini, otonomi daerah terbukti menjadi pedang bermata dua. Semua dikembalikan kepada pemahaman masing-masing pemerintah daerah akan pentingnya penerbangan perintis.
Ganti pimpinan bukan tidak mungkin berarti turut mengganti kebijakan sehingga tidak ada kepastian jangka panjang. Kementerian Perhubungan hanya dapat gigit jari, tidak dapat terlalu banyak mengintervensi kebijakan pemerintah daerah.
Program Poros Maritim Dunia berpotensi menimbulkan suatu masalah serius bagi keberlangsungan penerbangan perintis seandainya gagal diidentifikasi dengan baik.
Tumpang-tindih dengan rute pelayaran bersubsidi menjadi potensi permasalahan utama; uang rakyat akan terbuang sia-sia seandainya hal tersebut terjadi. Hingga kini belum ada peraturan yang menyinkronkan penyelenggaraan penerbangan perintis dengan pelayaran bersubsidi; lalu juga dengan transportasi darat.
Pembukaan beberapa rute baru di daerah yang banyak melibatkan kombinasi transportasi udara dan laut, antara lain di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, dan Papua, harus ditelaah ulang guna menghindari kemungkinan tumpang-tindih.
Sempat juga terdengar agar penyelenggaraan penerbangan perintis (yang terbengkalai) diserahkan kepada TNI Angkatan Udara dengan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagai landasannya. Ide yang solutif mengingat TNI memiliki fasilitas di pelosok Nusantara.
Namun, terlepas dari polemik konsep OMSP, perlu diingat bahwa keadaan sudah sangat jauh berbeda dari era-DAUM (Dinas Angkutan Udara Militer) setengah abad silam. Hubungan sipil-militer telah banyak berubah, termasuk terkait fungsi transportasi.
Iklim persaingan usaha dewasa ini cenderung lebih menghendaki agar militer tidak ikut serta menjadi aktor utama dengan mendirikan badan usaha penerbangan.
Kompetisi sehat identik dengan kehadiran perusahaan, baik swasta atau daerah, yang dikelola secara profesional. Sisi positifnya adalah meniadakan risiko gugatan perdata terhadap TNI AU.
Mereka masih dapat terlibat dengan menyediakan penerbang dan teknisi untuk Merpati. Guna menghindari polemik berkepanjangan akan profesionalisme militer, maka konsep OMSP dibatasi hanya berupa pengiriman sumber daya manusia guna mendukung penerbangan perintis tanpa harus membentuk suatu badan usaha penerbangan.
Mengingat pentingnya penyelenggaraan penerbangan perintis yang sehat, serta untuk mendukung keberhasilan Program Poros Maritim Dunia, maka Merpati layak dan seyogianya diselamatkan.
Memang mahal, tetapi kesejahteraan rakyat taruhannya. Bukan tidak mungkin harga sembako di Indonesia timur akan sama atau minimal tidak jauh berbeda dari Pulau Jawa. Jembatan udara yang kokoh dan efisien, dipadukan dengan tol laut, akan mampu mewujudkannya.
Untuk itu, Merpati harus dikelola secara profesional, dalam arti tidak ada campur tangan politik dalam menentukan jenis armada maupun strategi bisnisnya.
Strategi code-shared dengan maskapai nasional yang melayani penerbangan antaribukota provinsi dapat menjadi opsi guna menjamin keterisian penumpang serta menjauhkan Merpati dari godaan untuk mengoperasikannya sendiri. Anggaran Dasar Merpati dapat diubah guna menjamin mereka hanya akan menerbangi rute perintis.
Kehadiran serta keberhasilan terbang perdana N-219 pada 16 Agustus silam sepertinya berada pada momentum yang tepat.
Seandainya upaya penyelamatan Merpati terwujud, N-219 layak menjadi pilihan utama bagi armadanya.
Harga pesawat ini diperkirakan akan jauh lebih murah ketimbang saingan utamanya, DHC-6 Twin Otter buatan Kanada (sekitar 6,5 juta dollar AS).
Jika Merpati beserta maskapai penerbangan nasional lain benar-benar beralih ke N-219, niscaya langit Nusantara akan diterbangi karya bangsanya sendiri; berdikari kalau meminjam istilah Bung Karno.
Jam terbang adalah salah satu hal terpenting yang dibutuhkan N-219 agar pesawat ini dapat kian sempurna dan menjadi pemain utama pada kelasnya di pasar global.
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/18/07270351/merindukan-penerbangan-perintis-dan-kehadiran-n-219