Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, pasangan calon Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.
Selain itu, Feri mengatakan ketentuan presidential threshold sama sekali tidak ada di dalam salah satu pasal UUD 1945.
"Angka 20 persen dan 25 persen itu hanya muncul dalam UU Pemilu. Artinya, angka-angka tersebut adalah angka-angka politik sesaat yang diputuskan dalam pembahasaan undang-undang Pemilu," ujar Feri saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2017).
(Baca: "Presidential Threshold" Dinilai Hanya Untungkan Jokowi Saat Pemilu)
Menurut Feri, angka ambang batas sebesar 20 persen dan 25 persen akan sangat mempengaruhi kompetisi dalam pemilu.
Dia menilai ketentuan itu tak sesuai asas keadilan karena akan menghilangkan hak warga negara lainnya yang telah dilindungi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, lanjut Feri, pasal 222 UU Pemilu memperkecil potensi persaingan bagi petahana dalam kompetisi pemilu.
(Baca: Mendagri: "Presidential Threshold" Sudah Diterapkan Sejak Pilpres 2009)
"Itu sebabnya angka-angka itu adalah angka-angka inkonstitusional yang harusnya dihapuskan agar berkesesuaian dengan kehendak teks UUD 1945," kata Feri.
Sebelumnya, pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu, Effendi Gazali, mempersoalkan adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Menurut Effendi, ketentuan tersebut merupakan tindakan memanipulasi hak pilih warga negara.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/24/19174611/pusako-ketentuan-presidential-threshold-di-uu-pemilu-bersifat-politis