Irma menilai perlu ada sanksi, setidaknya sanksi administratif bagi rumah sakit tersebut.
Meski belum diputuskan bahwa RS Mitra Keluarga melakukan kesalahan, namun rumah sakit menurut dia harus lebih dulu mengedepankan nilai kemanusiaan. Tidak menerima BPJS, bukan berarti rumah sakit tak menerima pasien yang kondisinya kritis.
"Saya mendesak pemerintah cq (dalam hal ini) Kemenkes memanggil manajemen RS dan memberikan sanksi keras kepada rumah sakit tersebut. Pemerintah harus tegas dalam kasus ini," kata Irma saat dihubungi, Minggu (10/9/2017) malam.
Kasus yang menimpa bayi Debora bisa jadi bukanlah yang pertama terjadi. Irma meminta Kemenkes dapat secara tegas menjalankan undang-undang agar masyarakat tidak merasa dirugikan dengan adanya penolakan-penolakan serupa.
Hal itu, menurut dia, kontraproduktif dengan salah satu program Kemenkes yang bertajuk Nusantara Sehat. Dalam kasus ini, Irma melihat ada tindakan pembiaran dan kelalaian yang dilakukan oleh petugas di RS Mitra Keluarga sehingga menyebabkan kematian bayi Debora.
Atas perlakuan itu, mereka terancam mendapatkan sanksi sesuai Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: "Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun".
"Polisi harus menyidik kasus ini dan bisa menjerat dokter dan para petugas tersebut dengan Pasal 359 KUHP," tutur Politisi Partai Nasdem itu.
IDI diminta bertindak
Irma juga meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk tidak tinggal diam. IDI bisa memanggil dokter-dokter yang bersangkutan, jika perlu juga memberikan sanksi seandainya ditemukan adanya unsur kelalaian.
Sebagai organisasi, IDI diminta tak hanya melindungi dan memberikan penghargaan (reward) bagi para anggotanya, melainkan juga menjatuhi hukuman (punishment) bagi anggota yang melanggar sumpah dokter dan undang-undang.
"Saya mengimbau IDI agar tidak hanya berguna bagi para dokter tetapi juga harus berguna bagi rakyat," kata Irma.
"Jika ada dokter yang melanggar sumpah, harus diberi punishment," ucap dia.
Selama ini, Irma menilai IDI belum memberikan tindakan tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran serupa.
"Jika tegas, tentu tidak ada dokter atau rumah sakit menolak pasien soal sanksi ya disesuaikan dengan kebijakan IDI," tuturnya.
Pihak keluarga mengaku ingin Debora dirawat di pediatric intensive care unit (PICU) untuk sementara sampai mendapat ruang PICU di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Namun, mereka saat itu hanya bisa memberikan Rp 5 juta dulu sebagai uang muka. Meski sudah berjanji akan melunasi uang muka sebesar Rp 11 juta siang harinya, pihak rumah sakit tetap menolak memasukkan Debora ke PICU.
Penjelasan Rumah Sakit
Dalam keterangan persnya, manajemen RS Mitra Keluarga menyampaikan bahwa awalnya Debora diterima instalasi gawat darurat (IGD) dalam keadaan tidak sadar dan tubuh membiru.
Menurut pihak rumah sakit, Debora memiliki riwayat lahir prematur dan penyakit jantung bawaan (PDA). Debora juga terlihat tidak mendapat gizi yang baik.
Pihak rumah sakit menyebut pihaknya telah melakukan prosedur pertolongan pertama berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas), lalu dilakukan bagging atau pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang napas, infus, obat suntikan, dan diberikan pengencer dahak (nebulizer). Pemeriksaan laboratorium dan radiologi pun dilakukan.
Rumah sakit tak memungkiri jika pihaknya telah menyarankan Debora dirawat di instalasi PICU dan mengetahui bahwa pihak keluarga menyampaikan kendala biaya.
Untuk itu, pihak rumah sakit memberikan solusi dengan merujuk Debora untuk dirawat di rumah sakit yang memiliki instalasi PICU dan melayani pasien BPJS.
Pihak rumah sakit membantah jika pihak mereka yang telah menyebabkan Debora meninggal akibat tak melakukan pelayanan sesuai prosedur.
(Baca: Penjelasan RS Mitra Keluarga Kalideres soal Meninggalnya Bayi Debora)
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/11/09240781/meninggalnya-bayi-debora-kemenkes-dan-idi-diminta-bertindak-tegas